Review The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes: Memuaskan!

Baba Qina - Rabu, 15 November 2023 16:25 WIB
Review The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes: Memuaskan!

Apakah sobat teater ingat dengan ketegangan berintensitas tinggi yang mewarnai empat film terdahulunya? It's gone. Ingat kepribadian Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence), si jagoan wanita badass yang penuh semangat berapi-api? It's gone. Ingat momen di mana angsuran ini dipenuhi oleh karakter unik yang menarik? It's gone. Ingat semua hal yang membuat "The Hunger Games" menjadi salah satu film adaptasi novel young adult terbaik? It's all gone. Ingat kisah cinta segitiga sappy antara Peeta-Katniss-Gale? Unfortunately, it's still there.

Ya, kini sambutlah The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes, yang merupakan film kelima dari angsuran The Hunger Games. Layar lebar ini berkisah tentang masa muda Coriolanus Snow (Tom Blyth), seorang pria yang ambisius. Kisahnya berlatar belakang pada masa perang yang berkepanjangan, di mana Capitol menghadapi serangan dan kesulitan ekonomi. Keluarga Snow yang sebelumnya kaya raya dan berkuasa di bawah kepemimpinan Jenderal Crassus Snow (Donald Sutherland), mengalami kemunduran setelah sang Jenderal tewas dalam perang.

Coriolanus, yang masih berusia 17 tahun, memiliki tekad kuat untuk mengembalikan kejayaan keluarganya, dengan dibantu oleh sepupunya, Tigris Snow (Hunter Schafer). Dengan prestasinya di Akademi Sekolah yang paling bergengsi di Capitol, Coriolanus terpilih menjadi mentor di Hunger Games ke-10 yang akan datang. Pada saat yang sama, Lucy Gray Baird (Rachel Zegler), seorang peserta Hunger Games, tiba di Distrik 12 setelah perang.

Lantas, siapakah Lucy Gray? Dan bagaimanakah perjalanannya di arena Hunger Games?

Penulis cukup menyukai seri Hunger Games terbaru ini, meski lebih banyak didominasi oleh drama-politik dan tone yang semakin kelam. Memang lambat, tapi sebuah pembangunan pondasi tersebut memang diperlukan untuk mempersiapkan finale sesungguhnya yang ada di menit-menit akhir filmnya. Tapi, di saat babak penutupnya pun begitu lambat nyaris tanpa semangat, hal tersebut sepertinya merupakan kekeliruan. Harapan akan klimaks yang epic pun harus musnah.

Total hanya ada beberapa action sequence di sini dan untungnya, Francis Lawrence selaku sutradara masih mampu mengemas sekuens tersebut penuh dengan ketegangan seru. Tiap sekuens juga melibatkan kematian karakter yang sanggup memberikan dampak emosional kepada penontonnya. Well, andai klimaksnya punya keseruan yang serupa, niscaya hal tersebut pasti akan mengangkat derajat kualitas film ini. Francis Lawrence beserta para penulis naskah terlihat terlalu malas untuk melakukan perombakan, hingga akhirnya dihadapkanlah penonton pada momen puncak yang antiklimaks tersebut.

Kisah cinta juga masih mendapat porsi besar di film ini, bahkan jauh lebih mendominasi dibanding seri sebelumnya. Lagi-lagi, penulis menangkap ini sebagai usaha untuk menambal kekosongan alur akibat minimnya modal cerita yang ada. Tengok berapa banyak adegan Lucy berdua dengan Coriolanus hanya untuk terlibat dalam pembicaraan gloomy di tengah suasana sepi sekaligus membosankan. Semakin parah saat berbagai obroan tersebut menghadirkan kekakuan yang awkward.

Penulis tidak heran jika nanti terdengar beberapa kali tawa penonton yang pecah karena adegannya memang menggelikan. Dan penulis tidak menangkap kelucuan itu sebagai bentuk kesengajaan dari sang sutradara. Those are simply a bad soap opera-esque scenes. Tapi tenang, The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes masih dihuni oleh banyak kumpulan tokoh yang menarik. Belum lagi jika kita membahas sosok Lucy Gray, sang protagonis yang tidak hanya mudah dicintai oleh karakter-karakter di sekitarnya, tapi juga oleh penonton.

Tapi secara keseluruhan, The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes merupakan adaptasi novel yang decent dan dijamin akan memuaskan bagi fans buku maupun filmnya. Memang tidak sempurna karena ada beberapa hal yang agak mengecewakan tadi, seperti kurangnya unsur kekerasan, klimaksnya yang terlalu klise, dan kurang disorotinya karakter-karakter minor sehingga saat mereka tewas.

Sobat teater mungkin tidak merasakan perasaan miris atau ikut bersedih seperti yang terjadi saat menonton film Battle Royale, misalnya. Paling tidak, setelah era Harry Potter dan Twilight berakhir, lagi-lagi Hollywood telah menemukan angsuran pengganti yang tidak kalah menjanjikan, bahkan mungkin berpotensi jauh lebih superior meski jumlah serinya lebih sedikit dari kedua pendahulunya tersebut.