Review Budi Pekerti: Tingkatkan Standar Baru untuk Perfilman Indonesia

Baba Qina - Sabtu, 4 November 2023 19:33 WIB
Review Budi Pekerti: Tingkatkan Standar Baru untuk Perfilman Indonesia

Dalam kehidupan, akan ada fase di mana tragedi dapat mampu mendewasakan kita secara natural untuk memulai lembaran hidup yang baru. Gagasan tersebut dapat disimpulkan setelah kita melihat perjalanan yang dilalui oleh para karakter dalam film panjang kedua sineas muda Indonesia, Wregas Bhanuteja yang berjudul Budi Pekerti.

Film Budi Pekerti menceritakan kisah sebuah keluarga yang terdiri dari Bu Prani (Sha Ine Febriyanti), Pak Didit (Dwi Sasono), Muklas (Angga Yunanda), dan Tita (Prilly Latuconsina). Muklas berprofesi sebagai seorang content creator, sementara Tita adalah seorang musisi band indie sekaligus aktivis. Sedangkan Pak Didit merupakan kepala keluarga yang sedang mengidap depresi.

Bu Prani sendiri adalah seorang guru BK yang suatu hari terlibat cekcok dengan salah satu pengunjung di pasar. Percekcokan tersebut direkam oleh seseorang dan disebarkan di media maya. Setelah viral, Bu Prani pun banyak mendapatkan komentar negatif dari warganet karena sikapnya yang agresif dianggap tak menggambarkan sikap guru seharusnya. Bahkan, keluarga Bu Prani juga ikut terseret kecaman netizen.

Kondisi keluarga yang semula tenang, mendadak menjadi riuh tak tertahankan. Berbagai konflik pun satu per satu muncul dan memperburuk suasana. Tak hanya mempengaruhi keharmonisan keluarga, Bu Prani juga terancam kehilangan pekerjaan dan mendapatkan pandangan negatif dari orang-orang di sekitar. Lantas, seperti apakah cara Bu Prani dan keluarganya bertahan di tengah gempuran penghakiman netizen yang maha benar?

Dalam karya kedua dari Wregas kali ini, fenomena yang diangkat amat sangat dekat dengan situasi saat ini, kala teknologi mengharuskan manusia untuk tampil sempurna dari segala sisi, tanpa memandang moral, etika, keadilan hingga kebenaran yang sesungguhnya. Naskahnya subtil dalam membangun hal tersebut, sesekali tampil jenaka pun piawai dalam membangun intensitas pergolakan emosi yang dihadirkan karakter bagi para penonton.

Akan ada keceriaan, kesedihan, hingga rasa putus asa selama durasinya mengalir, relasi kausalitasnya jelas karena sesungguhnya setiap tindakan justru memicu adanya cakupan konflik yang lebih luas. Hal itu semakin membuat para karakternya terpojok kala teknologi sudah semakin menguasai.

Budi Pekerti rupanya bukan hanya judul semata, namun juga menjadi perspektif, menjadi motor untuk membuka identitas diri, dan menjadi elemen penting dalam menentukan sesuatu. Itu yang dirasakan oleh Bu Prani, Muklas, Tita, dan Pak Didit. Pilihan-pilihan yang diambil oleh para karakter kita tadi lantas membawa kepada sesuatu yang cukup pelik. Melakukan tindakan video diam-diam, apakah menggambarkan Budi Pekerti? Melakukan video settingan menyiram air, apakah menggambarkan Budi Pekerti? Memberikan refleksi yang anti mainstream kepada murid-muridnya, apakah menggambarkan Budi Pekerti?

Satu hal yang pasti, klimaksnya tampil luar biasa menyentuh. Menampilkan shot sederhana di salah satu sudut kota Jogja diiringi hujan dengan lantunan musik "Dan Hujan" karya musisi Gardika Gigih, mampu menjadi pembuktian mutlak atas kemenangan untuk tidak menjatuhkan harga diri demi kredibilitas yang sesungguhnya tidak diharapkan.

Mencapai fase tersebut, Sha Ine Febriyanti adalah penampil dengan performa yang luar biasa solid. Matanya tajam dan berbicara, detail segala ekspresi yang dirasakan Bu Prani berhasil tertangkap sempurna di layar. Dibantu performa terbaik sepanjang karier dari Angga dan Prilly sebagai Muklas dan Tita, praktis filmnya mampu menampilkan sebuah karya yang akan terus diperbincangkan atas keberanian mengangkat isu yang jarang diangkat oleh perfilman Indonesia.

Secara keseluruhan, film ini meningkatkan sebuah standar baru pada perfilman Indonesia, dan menguatkan posisi seorang Wregas Bhanuteja sebagai salah satu sutradara atau penulis film papan atas asal Indonesia. Sudah waktunya suara dan pesan dari film Indonesia dinikmati oleh penduduk Indonesia, bahkan dunia.