Review Film Tasbih Kosong: Kisah Mistis dari Pulau Sulawesi

Baba Qina - Selasa, 7 Februari 2023 12:02 WIB
Review Film Tasbih Kosong: Kisah Mistis dari Pulau Sulawesi

Sekitar tahun 2015 lalu, sosok hantu legendaris asal Makassar, Sulawesi Selatan pernah diangkat ke layar lebar, yakni Sumiati. Hantu Sumiati disebut sering menampakkan diri dengan busana serba putih, atau serba merah jika ia sedang mengincar korban. Umumnya hantu Sumiati ini dipercaya sering meneror laki-laki di malam hari.

Kini, di awal tahun 2023, lagi-lagi kisah mistis yang berasal dari pulau Sulawesi kembali diangkat ke layar putih, berjudul Tasbih Kosong. Menurut sang sutradara sendiri, Arie Achmad Buang, film Tasbih Kosong ini diangkat dari kisah nyata dengan latar tahun 1995.

Asti (Riskyana Hidayat) dan Umar (Fritz Frederich), dua orang pegawai Badan Pusat Statistik, ditugaskan untuk memutakhirkan data di desa terpencil di sebuah kabupaten di Sulawesi. Umar dan Asti tidak menyadari bahwa tempat mereka berlindung adalah rumah orang yang menganut ilmu pesugihan atau pelet. Akses jalan yang sulit dan jarak antar rumah yang jauh memaksa mereka untuk tinggal di desa itu dalam waktu yang cukup lama.

Suatu hari, Umar bertemu dengan Rajeng (St Ardiana Arifin), dan mereka pun jatuh cinta. Tanpa disadari, Rajeng mengadakan perjanjian dengan orang tua angkatnya sebagai penerus ilmu hitam yang mereka miliki. Kedatangan Asti dan Umar mengungkap berbagai kedok penduduk desa setempat. Nyawa Asti dan Umar pun mulai terasa terancam.

Sebenarnya, hanya menengok dari judul dan premisnya saja, kita semua pasti bisa menebak akan seperti apa film ini diceritakan, karena memang film horor dengan tema tumbal atau sekte seperti ini sudah banyak bertebaran di industri perfilman kita. Tapi memang ternyata film ini masih belum bisa menciptakan cerita yang kuat, sehingga membuat alurnya agak berantakan dan tidak cukup menguatkan antar adegannya, bahkan hingga mencapai ke endingnya.

Tapi memang perlu diakui, dalam beberapa aspek seperti sound dan musik, masih cukup bisa sedikit menyelamatkan film ini. Selain dari itu, penulis merasa bahwa production house yang berasal dari daerah (khususnya dari luar Pulau Jawa) memang masih perlu mendalami banyak sekali hal untuk bisa mulai memproduksi sebuah film horor.

Mereka bahkan seakan belum bisa untuk memaknai bagaimana horor itu seharusnya, dan hanya berpegangan pada “yang penting serem dan ada setannya”. Beberapa karakter bahkan dibuat terlihat sangat kaku yang seolah ingin menunjukkan bahwa ini adalah horor dengan tiap pergerakan yang harus terkesan misterius.

Film ini sejatinya memiliki potensi untuk menjadi film horor yang bagus dan mencekam, namun gagal total karena gaya penceritaan yang ala kadarnya, tidak koheren, alur yang bikin pusing, dan penulisan naskah yang malas. Apakah sobat nonton pernah melihat poster film ini di mana sesosok pria bertelanjang dada sedang berdiri dengan satu kaki dan dengan posisi tangan yang sedang bersedekap? Ya, jika film ini berada di tangan sutradara yang tepat, maka niscaya adegan yang juga ada di dalam filmnya tersebut akan menjadi salah satu adegan ikonik di sejarah film horor Indonesia.

Belum lagi saat penulis harus ternganga-nganga akan luar biasanya imajinasi liar (in a bad way) sang sutradara hingga sanggup menciptakan kisah seperti ini, dilengkapi dengan plot twist yang sangat membagongkan di akhir cerita. Jujur, saat penulis menonton film ini di bioskop, dan muncul twist di adegan paling akhir tersebut, dan seketika lampu di ruangan studio bioskop menyala, banyak dari para penonton yang ikut terlonjak kaget melihat adegan tersebut muncul di layar.

Tapi penulis tetap mengapresiasi usaha dari rumah produksi film ini (yang berasal dari Sulawesi) yang masih berusaha memproduksi film horor, meski memang akan lebih baik jika mereka fokus mengembangkan genre khas mereka sendiri, tanpa harus ikut-ikutan memaksakan ke ranah horor.