Review Film The Sin: Suguhkan Ketegangan yang Intens dan Konsisten

Baba Qina - Sabtu, 6 April 2024 13:54 WIB
Review Film The Sin: Suguhkan Ketegangan yang Intens dan Konsisten

Beberapa tahun silam, kita semua dikejutkan oleh sebuah film yang berjudul Train to Busan. Ya, sebuah film tentang zombie apocalypse. Film yang sempat diputar di Festival Film Cannes tersebut merupakan contoh ketepatan suatu langkah awal. Para pembuatnya menolak muluk-muluk, memilih berfokus pada memaksimalkan formula standar; menyoroti usaha para karakternya untuk bertahan hidup, dan memunculkan nuansa terperangkap dengan hanya memakai setting lokasi terbatas.

Kini, sinema Korea Selatan coba menelurkan usaha sejenis dalam film yang berjudul The Sin. Namun bedanya dengan Train to Busan, The Sin yang tetap bernuansa zombie ini dipadukan dengan unsur supranatural. Berhasilkah upaya tersebut?

The Sin bercerita tentang Shi-young (Kim Yoon-hye), mantan penari yang mendapatkan peran utama dalam sebuah proyek film avant-garde dari seorang sutradara sekaligus penulis terkenal. Anehnya, skenario film itu tidak bisa dimengerti oleh Shi-young. Satu-satunya instruksi yang diberikan kepadanya justru koreografi detail yang harus dia pelajari dengan hati-hati, sekaligus wajib dieksekusi dengan sempurna setiap kali dia mendengar kata "action" dari sang sutradara.

Selama syuting, Shi-young diharuskan terus menari tanpa henti. Bersama rekannya, Chae-yoon (Song Yi-jae), mereka mempersembahkan koreografi yang menggambarkan semacam ritual perdukunan. Situasi berubah drastis ketika sebuah kecelakaan mengerikan terjadi di lokasi syuting. Mulai dari sini, segalanya berubah menjadi mimpi buruk. Seorang anggota staf jatuh dari atap seolah-olah dirasuki oleh kekuatan gaib. Dengan penuh ketakutan, para saksi melihat tubuhnya yang hancur mulai bangkit seperti mayat hidup.

Well, seperti yang sudah terpampang pada sinopsis di atas, pada akhirnya hanya karakter Shi-young saja yang mendapat eksplorasi dari sang sutradara film ini. Padahal, jika ditengok lebih dalam, beberapa tokoh lain juga turut menyimpan potensi berupa ciri selaku pembeda, dan apabila dimanfaatkan akan mampu menjalin interaksi dinamis dari karakter lainnya. Nah, para karakter-karakter pendukung tersebut tak lebih dari sekadar “cannon fodder”, yang ketika terjadi kematian, emosi kita semua urung bergolak. Untungnya, tokoh utama kita tadi masih sukses dalam menggaet atensi.

Lalu sebagaimana yang telah penulis singgung di atas tadi, The Sin ternyata masih memiliki senjata yang sama dengan Train to Busan, yakni formula minim inovasi. Walau situasinya berbeda, teror para zombie masih menggunakan pola familiar  kejar-kejaran, dan usaha memblokade akses masuk dari para zombie.

Di sini kemampuan sang sutradara dalam membangun intensitas mengambil peran. Sedari awal, kita semua akan dibuat harap-harap cemas mengantisipasi terjadinya serbuan dari para zombie. Serangan pertama terasa mengerikan tanpa perlu menggebrak berkat tampilan serta gerak tubuh creepy para zombie. Lalu setelahnya, The Sin coba mengembalikan kengerian zombie yang bukan sekadar monster tanpa otak berwajah rusak. Dan itu boleh dikatakan berhasil.

Sedikit mengecewakan memang saat kadar gore-nya ternyata begitu minim, namun The Sin rupanya mengganti unsur kebrutalan tersebut dengan konsistensi membangun intensitas. Ketegangan senantiasa mengiringi karena deretan tokohnya hanya manusia biasa yang lemah nan rapuh, bukan sesosok action hero.

Selipan dramanya juga tampil tak terlalu istimewa, minim inovasi dan terasa familiar, namun tetap berhasil dimaksimalkan. Bicara zombie apocalypse, tentu timbul pertanyaan tentang sisi kemanusian seorang manusia. Momen berisi ego karakter yang hanya memikirkan keselamatan diri sendiri bahkan rela mengorbankan nyawa orang lain masih dominan. Terdengar klise? Tentu. Namun apakah emosi penulis ikut tersulut? Nyatanya iya.

Pada akhirnya, The Sin berhasil memunculkan fakta bahwa kita semua memang mudah membenci sebuah sikap egois berlebihan, dan film ini mencoba mengeksploitasi fakta tersebut, menghadirkan dinamika perasaan dalam alurnya. Ya, The Sin adalah sajian horror-zombie yang cukup well-crafted sekaligus memiliki hati.