Review Hamka & Siti Raham Vol. 2: Terlalu Bermain Aman dan Cenderung Menghindari Perdebatan Sejarah

Baba Qina - Jumat, 22 Desember 2023 16:52 WIB
Review Hamka & Siti Raham Vol. 2: Terlalu Bermain Aman dan Cenderung Menghindari Perdebatan Sejarah

Setelah kita disuguhkan oleh bagian pertama dari kisah Buya Hamka yang dirilis pada bulan April lalu, kini bersiaplah untuk kembali menyaksikan kelanjutan kisah tokoh muslim legendaris Indonesia ini dalam film keduanya yang berjudul Hamka & Siti Raham Vol.2.

Film Hamka dan Siti Raham Vol.2 ini akan lebih menonjolkan peran Siti Raham (Laudya Cynthia Bella) sebagai seorang istri yang selalu setia dalam mendukung dan mendedikasikan hidupnya untuk Hamka. Selain itu, film ini akan mengungkap sisi lain persahabatan Hamka dan Presiden Soekarno (Anjasmara).

Kedua tokoh yang sama-sama berpengaruh dalam merebut kemerdekaan Indonesia ini memang mengalami pasang surut persahabatan, karena perbedaan pandangan politik. Bahkan, Presiden Soekarno sampai mengasingkan Hamka ke Bogor untuk meredam perlawanannya. Kendati demikian, Hamka tetap mau dan tulus menjadi imam salat untuk jenazah Presiden Soekarno yang berpulang pada 1970 silam.

Well, sebagai sebuah film biopik, Hamka & Siti Raham Vol. 2 ini boleh dibilang tampil dengan penceritaan yang lebih rapih ketimbang film pertamanya. Seperti sinopsis singkat di atas tadi, film keduanya ini coba menyorot konflik pasca kemerdekaan, juga menyorot konflik antara Buya Hamka dengan Soekarno.

Sayangnya, Hamka & Siti Raham Vol. 2 tampil serba tanggung. Alih-alih menjadikan film ini fokus dengan satu momen penting yang menjadi konflik utama, justru film ini lebih memilih bercerita dengan metode "merangkum sejarah" dari tahun ke tahun. Alhasil, filmnya berjalan hambar, tanpa ada konflik utama yang memantik emosi.

Segudang potensi konflik yang muncul disia-siakan begitu saja. Sebutlah beberapa, seperti tatkala Soekarno dan Hamka saling berseberangan, naskahnya luput memperlihatkan pada penonton mengenai awal mula dan proses konflik tersebut bisa terjadi. Begitu juga tatkala novel romannya diklaim plagiat, reaksi serta penyelesaian masalahnya terlalu mendadak tanpa adanya usaha yang berarti.

Semuanya terkesan serba tiba-tiba, seakan film ini sengaja bermain aman demi menghindari perdebatan sejarah. Padahal, film ini seharusnya mampu menghadirkan sudut pandang yang luas, yang tak hanya menyorot dari satu sisi. Andai bagaimana perubahan Soekarno dalam pandangannya kepada Buya Hamka juga diperlihatkan, niscaya filmnya tak akan terasa terlalu hambar.

Skoring musiknya pun terlalu mendominasi, dengan harapan dapat membuat filmnya terasa pilu dan romantis. Sayangnya, emosi tersebut gagal dirasakan oleh penulis secara pribadi. Beberapa momen yang seharusnya dibuat hening, tanpa perlu dramatisasi berlebihan lewat skoring musik, justru dirusah oleh skoringnya itu sendiri. Sungguh amat disayangkan.

Dan pada akhirnya, film kedua yang seharusnya tampil lebih baik daripada film pertamanya ini, rasanya gagal dihadirkan dalam Hamka & Siti Raham Vol.2. Naskahnya terlalu berusaha bermain aman, luput memperlihatkan sisi kritis Buya Hamka yang seharusnya tak hanya diperlihatkan lewat tulisan di koran yang sekadar lewat, dan lebih memilih menghabiskan durasinya dengan penggunaan kalimat-kalimat penuh dakwah, yang sayangnya hadir secara berlebihan.