Review Indigo: Ketika Indera Keenam Membawa Malapetaka

Baba Qina - Jumat, 20 Oktober 2023 17:12 WIB
Review Indigo: Ketika Indera Keenam Membawa Malapetaka

Sinema horor tanah air pernah marak oleh karakter dengan kemampuan melihat makhluk halus. Diawali oleh film Mereka Yang Tak Terlihat yang mengedepankan drama keluarga, diikuti Keluarga Tak Kasat Mata yang entah maunya apa, lalu ada Mata Batin yang memilih untuk meletakkan fokus pada penelusuran sisi supranatural yang didukung keterlibatan parapsikolog sebagai pemeran pendukung. Kini, sambutlah Indigo yang juga bermain-main di ranah yang sama.

Zora (Amanda Manopo) diceritakan menjadi kakak dari tokoh bernama Ninda (Nicole Rossi). Suatu hari, Ninda diduga terkena penyakit otak yang dijuluki skizofrenia. Kendati diagnosis pertamanya seperti itu, terdapat seorang paranormal bernama Sekar (Sara Wijayanto) yang mengungkapkan bahwa Ninda ini merupakan manusia bekepribadian indigo. Maksudnya, wanita tersebut mengklaim Ninda mempunyai kekuatan indera keenam untuk melihat dunia lain di sekelilingnya.

Kelebihan Ninda ternyata membawa petaka, yakni ketika terdapat salah satu sosok gaib yang hendak mengancam jiwanya. Makhluk tersebut pun gencar mengganggu sehingga Zora yang sudah “dipensiunkan” sebagai indigo terpaksa mengambil tindakan. Sejak berusia belia, Zora memang sudah terlebih dahulu memiliki indera keenam. Namun, ada sejumlah sebab yang mengakibatkan kemampuannya itu ditutup. Kini, ia pun bertindak berani membuka kembali status indigonya demi menyelamatkan Ninda.

Well, judul-judul seperti The Doll dan Mata Batin memang telah membawa nama sutradara Rocky Soraya menuju kemantapan gaya, yang dia terapkan pula di film Indigo ini. Kekerasan berdarah di mana beratus-ratus pecahan kaca takkan cukup merenggut nyawa manusia tetap menjadi titik tertinggi, meski kali ini porsinya tak mendominasi.

Begitu juga dengan pengadeganan berbasis kekacauan suasana yang mengandalkan gerak kamera dinamis garapan sinematografer Dicky R. Maland. Setidaknya, Indigo masih tampil berenergi berkat kedua aspek tadi, sekaligus memunculkan harapan, suatu hari kelak Rocky Soraya berminat untuk membuat film slasher.

Bersenjatakan energi yang sedemikian tinggi tadi, Indigo ibarat manusia dengan raga yang sangat solid. Namun tidak dengan jiwanya, ketika cara menakut-nakuti Rocky masih berkutat di metode penampakan gamblang bersuara berisik, ditambah desain hantu yang menganggap bahwa kengerian berbanding lurus dengan kerusakan wajah.

Hal di atas tadi bisa efektif untuk beberapa penonton memang, tapi saat pengulangan-pengulangannya ngotot untuk dipertahankan, timbul kelelahan juga kebosanan. Pun klimaksnya hadir secara tumpul bagaikan rumah hantu pasar malam murahan. Sial bagi Rocky, jumpscare terbaik yang diperlihatkan di sini sudah sering kita temui dalam banyak film horor, sehingga dampaknya tidak sekuat harapan.

Sara Wijayanto tampil menuturkan rangkaian pemahaman terkait aturan serta ragam sisi alam gaib dan mata batin. Menarik disimak, tapi kesan "sekilas info" tersebut gagal ditampik karena kurang piawaianya sang penulis skenario, Riheam Junianti, dalam menyusun informasi-informasi berharga tersebut menjadi struktur alur yang bisa membedakan Indigo dengan judul-judul bertema serupa di atas tadi.

Mengenai beberapa twist, naskahnya pun kedodoran. Ada yang meninggalkan setumpuk lubang logika menganga, ada pula yang bagai kurang akal dalam caranya mengungkap fakta. Tapi sekali lagi, Indigo sama sekali tidak buruk. Amanda Manoppo mulus merespon ragam situasi menyeramkan yang dialami oleh karakternya. Itu membuktikan dirinya pantas diberi proyek dengan production value berkelas seperti ini.