Review Kartolo Numpak Terang Bulan: Bikin Tertarik dengan Kota Surabaya

Baba Qina - Minggu, 17 Maret 2024 08:12 WIB
Review Kartolo Numpak Terang Bulan: Bikin Tertarik dengan Kota Surabaya

Setelah cukup sukses dengan film layar lebar Jack yang tayang pada tahun 2019 silam, kali ini, eksistensi keterlibatan siswa SMK Dr Soetomo (Smekdors) Surabaya kembali menunjukkan bakatnya melalui film layar lebar berjudul Kartolo Numpak Terang Bulan. Dengan sutradara yang sama yakni M Ainun Ridho, film layar lebar kedua yang proses pembuatannya melibatkan siswa sekolah menengah kejuruan ini akhirnya tayang mulai pekan ini di seluruh bioskop di Indonesia.

Film ini mengisahkan tentang rumah Cak Kartolo (Cak Kartolo) yang dijadikan tempat kos bagi 4 orang mahasiswa. Mereka adalah Simon (Beta Sofiansyah) asal Papua, Yusuf (Wandi Marzuki) asal Makassar, Boncel (Rizky Boncel) asal Malang, dan Mat (Yuliawan Krisdianto) Asal Tulungagung. Suatu ketika, Cak Kartolo jatuh sakit. Cak Sapari (Cak Sapari) yang merupakan sahabat Cak Kartolo berinisiatif memanggil anak Cak Kartolo bernama Sari (Alda Yunalvita) untuk pulang merawat bapaknya.

Kehadiran Sari lalu menjadi perhatian karena wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang seksi. Anak-anak kos saling berusaha untuk mendapat perhatian Sari. Kedekatan Sari dengan Jon membuat anak kos lainnya merasa tersaingi dan memicu konflik mereka dengan Jon. Singkat cerita, Cak Kartolo tiba-tiba mengisahkan hal yang mengejutkan tentang apa yang terjadi dengan keluarganya di masa lalu. Hal apakah itu?

Film ini sejatinya adalah film yang "urakan", baik secara positif maupun negatif. Sebenarnya nilai dan maksud dari film ini baik, mengangkat nuansa kedaerahan Surabaya yang kental dari pemilihan bahasa, setting tempat, dan nilai multikulturalisme serta hubungan antar ras di Surabaya. Gimmick 'misuh' ala Surabaya pun dengan gamblang ditampilkan dalam dialog pemain dan kerap kali mengundang tawa penonton di studio bioskop, begitu pula dengan jokes khas Suroboyo yang spontan dan apa adanya. Namun itu semua terkubur oleh lapisan kekurangan di banyak aspek penting dalam sebuah film.

Kalau penulis boleh jujur, alangkah lebik baiknya jikalau film ini diputar di stasiun televisi atau sebagai film berbasis internet daripada di bioskop. Secara sinematografi, akting, scoring, dan naskah, film ini sama sekali belum layak untuk tampil di layar perak bioskop. Ketahuilah bahwa masyarakat yang membeli tiket di bioskop sudah pasti mengharapkan kualitas tayangan yang secara keseluruhan lebih baik ketimbang Film Televisi (FTV). Bahkan kualitas film ini belum bisa menyamai beberapa webseries Youtube ciamik yang bertebaran di jagat internet saat ini.

Kamera shaking yang parah, naskah yang lebih mirip naskah drama anak SMA, shot close up yang terpotong, adegan yang seharusnya tidak menggunakan teknik kamera tertentu tapi malah dipakai, ditambah transisi yang sangat absurd di beberapa bagian, menjadikan film ini banyak memiliki nilai minus.

Pada akhirnya, penulis sedikit menyayangkan kapabilitas perangkat kamera canggih yang konon dimiliki oleh SMK Dr. Soetomo selaku penyedia alat perekaman film ini yang seharusnya bisa menghasilkan film yang jauh lebih baik dari film Kartolo Numpak Terang Bulan ini.

Namun poin plusnya, film ini mungkin akan berhasil untuk membuat siapapun tertarik mengunjungi kota Surabaya karena shot-shot filmnya yang memperlihatkan berbagai sisi kehidupan orang-orang Surabaya dengan cukup baik.