Review Perjalanan Pembuktian Cinta: Kisah Cinta Segitiga yang Unik

Baba Qina - Kamis, 7 Maret 2024 21:46 WIB
Review Perjalanan Pembuktian Cinta: Kisah Cinta Segitiga yang Unik

Barangkali inilah pentingnya cinta. Jika rumah tangga adalah kebun bunga, maka cinta adalah airnya. Tanpa ada air, bunga-bunga itu akan layu. Malangnya, masih sering didapati rumah tangga yang dimulai bukan atas saling cinta, melainkan sebuah perjanjian atau perjodohan.

Hal di atas yang coba diangkat dalam film yang berjudul Perjalanan Pembuktian Cinta yang bercerita tentang Fathia (Dea Annisa) yang merupakan perempuan yang dikenal lembut oleh orang-orang di sekitarnya. Sehari-hari, Fathia hidup di pesantren sebagai penghafal Al-Qur'an.

Sayangnya, Fathia terjerat sebuah pernikahan paksa yang telah dirancang oleh orang tuanya. Fathia harus menjalani takdir yang dituliskan untuknya dengan kesabaran dan kepasrahan. Namun takdir itu tak mudah dilewatinya. Lantas, apakah ujian tersebut membuat Fathia semakin jauh dari Tuhan? Akankah Fathia pergi mengejar kebahagiaannya sendiri?

Sejatinya, Perjalanan Pembuktian Cinta coba menawarkan keseimbangan sebagai sebuah drama religi. Ada napas modern dalam sudut pandangnya untuk bisa cukup diterima oleh kaum progresif, namun tak seberapa ekstrim sehingga para kaum konservatif bakal tetap membanjiri bioskop. Agak terkesan main aman, tapi kalau ini jadi bare minimum bagi era baru genre religi tanah air, kita semua patut menerimanya dengan senang hati.

Film ini bukan semata-mata kisah tentang penderitaan seorang istri yang cuma bisa menumpahkan air mata akibat jeratan cinta segitiga. Tokoh utama kita, Fathia, ia aktif mencoba beragam sikap untuk bisa menerima takdirnya. Dan di sinilah naskah buatan M. Ali Ghifari menunjukkan keseimbangannya.

Fathia merasa perlu untuk mempertahankan pernikahan yang dianggapnya sebagai amanah. Namun rupanya ia tidak "buta". Terlihat dari bagaimana harapan Suhita dalam menggaet hati sang suami. Bahkan saat masalah mencapai titik terberat di akhir babak kedua, Fathia sanggup dan berani mengambil sebuah langkah tegas.

Konflik di atas dibungkus oleh pengarahan Amrul Ummami yang enggan tampil meledak-ledak. Musik mendayu-dayu yang biasanya mendominasi tiap menit di film religi Indonesia pun kali ini dosisnya dijaga betul. Walaupun naskah film ini turut bertanggung jawab akibat bergantung pada eksposisi yang dipadatkan paksa. Pengadeganan dari sang sutradara juga luput memberi penonton kesempatan untuk mencerna rentetan informasi yang disajikan di dalamnya sehingga terkesan sangat terburu-buru.

Pada akhirnya, film ini cukup berhasil dalam menggambarkan masalah perjodohan dan orang ketiga dengan menarik dan tidak berlebihan. Tapi sepertinya masih ada konteks yang hilang. Film dengan latar yang kuat itu harusnya tidak jadi segenerik seperti yang kita tonton di film ini. Pilihan dan journey para karakter yang kita lihat seperti kurang konsisten, karena ada konteks dari mereka yang mungkin sengaja tidak dibahas secara mendalam. Sungguh disayangkan