Review Rumah Masa Depan: Sajian Penyulut Tangis Tanpa Menjual Air Mata Semata

Baba Qina - Kamis, 7 Desember 2023 16:46 WIB
Review Rumah Masa Depan: Sajian Penyulut Tangis Tanpa Menjual Air Mata Semata

Jika ada dari sobat teater yang lahir pada tahun 1980-an, pastilah akan mengingat salah satu serial televisi yang ditayangkan di TVRI yang berjudul Rumah Masa Depan. Dulunya, serial ini memang sempat ditayangkan setiap hari Minggu siang sekitar pukul 12.30 WIB di TVRI, satu-satunya stasiun televisi yang ada di Indonesia kala itu.

Kini, lewat rumah produksi Mizan Pictures dan Max Pictures, Danial Rifki coba melakukan reboot serial tersebut ke medium layar putih. Tentunya agar para generasi kekinian mengerti bahwa kita pernah memiliki program televisi berkualitas saat itu.

Rumah Masa Depan mengisahkan tentang Sukri (Fedi Nuril) yang bekerja sebagai arsitek di Jakarta. Ia memiliki istri bernama Surti (Laura Basuki) yang bekerja sebagai dokter di Bandung. Suatu hari, Sukri mengajak Surti dan kedua anaknya untuk pulang ke kampung halamannya di Sumedang untuk menghadiri proses pemakaman ayah Sukri. Mereka pun harus membatalkan liburan mereka dan merombak jadwal perjalanan.

Namun sesampainya di sana, Surti justru tak mendapat sambutan yang hangat dari ibu mertuanya. Ibu Sukri, Bu Kokom (Widyawati Sophiaan) enggan menjabat tangan Surti saat ia tiba bersama Sukri dan keluarganya. Surti yang merasa tidak disukai oleh ibu Sukri pun menceritakan hal tersebut kepada sang suami. Sukri memahami situasi tersebut, dan akhirnya memutuskan untuk pulang ke Jakarta usai proses pemakaman sang ayah dilakukan.

Masalah tidak hanya sampai di situ. Saat perjalanan pulang menuju Jakarta, Sukri secara tiba-tiba mendapatkan telepon bahwa ibunya diperiksa oleh pihak kepolisian setempat. Selama masa pemeriksaan, Sukri memutuskan untuk menetap menemani sang ibu sampai kasus yang ditangani selesai. Ia juga harus bisa menjadi penengah antara ibu dan istrinya yang tidak akur karena suatu alasan di masa lalu.

Di tangan yang salah, Rumah Masa Depan versi modern ini bisa berujung menjadi sajian penuh penderitaan belaka, di mana tiap sudut ibarat musibah yang melulu memicu ratap tangis. Beruntung, Danial Rifki rupanya tahu batas pemisah antara dramatisasi dengan eksploitasi, juga penyutradaraannya yang berbekal pemahaman perihal kapan serta seberapa dramatisasi perlu diterapkan di sebuah film.

Film ini rupanya juga mampu menawarkan jawaban logis yang juga relevan bila dihadapkan pada situasi sosial saat ini. Beberapa perubahan memang perlu dilakukan, namun tanpa mengkhianati substansi materi asalnya, bahkan masih sempat menyelipkan deretan referensi untuk momen-momen ikonik di serialnya, dalam sebuah penempatan tepat yang selaras dengan keperluan cerita ketimbang bentuk pemaksaan diri dalam menebar easter eggs.

Gempuran masalah-masalahnya adalah gambaran keseharian yang tak terasa episodik, sebab Danial bukan sedang mengadaptasi mentah-mentah serialnya aslinya. Pun di sela-sela unsur problematikanya, Rumah Masa Depan bersedia menyegarkan suasana berkat kemampuan jajaran pemeran pendukung, termasuk Tomy Babap yang memaksimalkan gaya hiperbolanya guna memancing tawa.

Dan pada akhirnya, Rumah Masa Depan adalah sajian penyulut tangis tanpa menjual air mata semata, pula memperlihatkan perjuangan tanpa mengeksplotasi penderitaan. Pasalnya, film ini "cuma" memaparkan nilai kekeluargaan sederhana tentang memiliki dan dimiliki, menjaga dan dijaga, di mana kala semua bersatu dalam harmoni, segala masalah pastilah sirna.