Review Srimulat: Hidup Memang Komedi, Hadirkan Parade Lawakan Khas Srimulat

Baba Qina - Kamis, 23 November 2023 18:35 WIB
Review Srimulat: Hidup Memang Komedi, Hadirkan Parade Lawakan Khas Srimulat

Didirikan pada tahun 1950 oleh pasangan suami istri Slamet Teguh Rahardjo dan Raden Ajeng Srimulat di kota Solo, Jawa Tengah, kelompok komedi Srimulat memulai karirnya sebagai kelompok seni keliling yang melakukan pementasan musik dan komedi dari satu kota ke kota lainnya. Seiring dengan perkembangan zaman, kelompok Srimulat turut melakukan adaptasi terhadap cara pementasan karya seni mereka: mulai dari tampil secara menetap, konten pementasan yang sarat dengan pesan dan kritik sosial, melakukan bongkar pasang personel untuk memberikan penyegaran pada penampilan mereka hingga akhirnya merambah dunia televisi sehingga mampu menjangkau pasar penggemar yang lebih luas lagi.

Berbagai perubahan tadi yang secara perlahan membesarkan nama mereka serta menjadikan Srimulat sebagai salah satu kelompok komedi terbesar dan paling ditunggu kehadirannya di Indonesia sebelum akhirnya kelompok tersebut vakum dari berbagai kegiatannya pada tahun 2006.

Dan kini, sambutlah film Srimulat: Hidup Memang Komedi yang juga merupakan bagian kedua dari film Srimulat: Hil yang Mustahal yang telah dirilis pada tahun lalu. Melanjutkan kisah di film pertamanya, kini di tengah perjuangannya untuk meraih kesuksesan, Srimulat juga harus menghadapi berbagai masalah pribadi. Gepeng (Bio One) harus menghadapi permasalahan asmaranya dengan Royani (Indah Permatasari), seorang gadis cantik yang berasal dari Jakarta.
Tessy (Erick Estrada), salah satu anggota Srimulat, juga harus menghadapi krisis identitas.

Tessy yang awalnya seorang laki-laki, kemudian memutuskan untuk menjadi karakter perempuan. Keputusan ini tentu menimbulkan kontroversi dan membuat Tessy harus mendekam di penjara. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, Srimulat tetap berjuang untuk meraih kesuksesan. Lantas, berhasilkah Srimulat menjadi grup lawak legendaris yang dicintai oleh masyarakat Indonesia?

Status sebagai "babak kedua" memang cukup melukai narasi milik Srimulat: Hidup Memang Komedi. Karya milik Fajar Nugros ini tampil bak prolog yang diulur-ulur. Akan tetapi, ketika lagu tema Srimulat terdengar, kita semua pasti bisa merasakan kekaguman Fajar kepada kelompok komedi legendaris itu. Srimulat: Hidup Memang Komedi mungkin kurang lihai dalam bercerita, namun ia jelas dibuat memakai cinta.

Ya, penuturannya memang kurang rapi. Kadang tampak ingin bercerita, tetapi bentuknya tidak jarang seperti kumpulan sketsa. Untungnya, kumpulan sketsa yang lucu. Selain humor toilet yang cenderung menjijikkan alih-alih menggelitik, sisanya efektif memancing tawa. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, kekaguman Fajar Nugros terhadap Srimulat amat kentara. Dia tahu letak "daya bunuh" tiap lawakan, lalu mempresentasikannya berbekal timing serta semangat yang tepat.

Ensemble cast-nya juga berjasa besar. Bisa dikatakan, ini adalah salah satu ensemble cast terbaik di film kita. Saking bagusnya, sulit memilih sosok yang terfavorit. Merujuk pada kemiripan tampang dan gerak-gerik, Ibnu Jamil cukup menonjol. Tapi bukan berarti nama lain kalah bagus. Bio One ada di performa terbaik, Teuku Rifnu mengolah citra intimidatifnya selaku penguat komedi, Zulfa Maharani sempurna memotret ke-lebay-an Nunung, sedangkan Elang El Gibran sempat memamerkan kekuatan dramatik di sebuah momen non-verbal.

Dan pada akhirnya, film ini juga akan memantik rasa haru yang bukan dipicu nostalgia tentang Srimulat, melainkan memori-memori indah yang dibawa lawakannya. Kaki terinjak, melorot dari kursi, dan lain-lain, adalah lawakan yang senantiasa muncul di tongkrongan. Lakukan itu, maka orang-orang yang tumbuh pasca era kejayaan Srimulat pun tetap bakal berkata, "Waah Srimulat!". Srimulat telah meresap begitu kuat dalam keseharian kita. Srimulat lebih dari salah satu bagian kultur, melainkan kultur itu sendiri.