Review The Zone of Interest: Film Sejarah Rasa "Horor"

Baba Qina - Kamis, 7 Maret 2024 21:53 WIB
Review The Zone of Interest: Film Sejarah Rasa "Horor"

Delapan puluh tahun telah berlalu sejak pembantaian keji kaum Yahudi oleh Nazi Jerman. Ketika sebagian besar saksi sejarah telah tiada, bagaimana kita bisa berkonfrontasi dengan sejarah kelam tersebut?

Sineas berkebangsaan Inggris, Jonathan Glazer, coba mengangkat premis tadi ke dalam sebuah film yang berjudul The Zone of Interest. Berbeda dengan film-film sejenis yang mengangkat kisah Nazi atau Holocaust, The Zone of Interest justru menghadirkan sudut pandang yang berbeda dengan menceritakan kisah dari perspektif keluarga Nazi.

Film ini akan menceritakan kisah Rudolf Hoss (Christian Friedel), seorang komandan militer dari kamp konsentrasi di Auschwitz. Hoss bersama dengan istrinya, Hedwig Hoss (Sandra Huller), berupaya membuat kehidupan keluarga mereka menjadi lebih baik lagi. Keduanya lalu membangun sebuah rumah impian dan taman yang megah di samping kamp konsentrasi tadi.

Impiannya itu membuat kehidupan keduanya sangat berbanding terbalik dengan apa yang terjadi dalam kamp konsentrasi. Ya, rumah mewah milik Rudolf Hoss dan keluarganya diapit oleh tembok tinggi yang dijaga ketat, di mana dalam banyak kesempatan terdengar gemuruh tembakan, ledakan bom, serta teriakan-teriakan orang yang kesakitan dibalik tembok tersebut.

Meski dilabeli sebagai sebuah historical drama, tapi saat sobat nonton menonton film yang berdurasi 1 jam 46 menit ini rasanya sobat teater akan otomatis melabeli The Zone of Interest sebagai sebuah film horor.

Yang membuat film ini menjadi begitu horor tentu saja adalah latar belakang sejarah Kamp Konsentrasi Auschwitz yang sudah disebutkan di awal tadi. Maka dari itu, sedikit saran dari penulis, sebelum sobat teater menonton film ini sebaiknya harus paham dahulu tentang apa yang terjadi di Auschwitz di sekitar tahun 1940an.

Sungguh sebuah pengalaman yang unik tatkala kita sebagai penonton semacam terus-terusan diajak untuk menerka-nerka tentang “apa yang seram”, “apa yang mengganjal”, dan “apa yang salah” di setiap adegan yang disajikan di film ini. Karena film ini mampu menunjukkan kengerian tanpa memperlihatkan kengeriannya itu sendiri secara gamblang.

Belum lagi ketika kita melihat respon dari “orang-orang sekitar” terhadap para korban kamp pengungsian tadi. Terasa begitu mengerikan dan begitu ironis ketika “orang-orang sekitar” tersebut mampu tetap beraktifitas normal dan bersikap biasa saja di saat berbagai macam kengerian itu terjadi.

Pada akhirnya, penulis amat menyarankan untuk menonton The Zone of Interest di layar bioskop untuk merasakan kedahsyatan scoring dan sound design yang begitu "mengganggu" di film ini. Pun film ini juga bisa dijadikan sarana pengingat terhadap sebuah sejarah mengerikan yang pernah terjadi di masa lalu.