Review 172 Days: Drama dengan Sinematografi yang Menawan

Baba Qina - Kamis, 23 November 2023 19:22 WIB
Review 172 Days: Drama dengan Sinematografi yang Menawan

Di kancah perfilman internasional, Still Alice (2014) memakai alzheimer untuk mengeksplorasi soal jati diri, sedangkan The Father (2020) memberi bukti bahwa ada cara bercerita yang segar guna mengemas tema tersebut. Pada medium yang lebih "ramah" bagi penonton awam, K-drama yang identik dengan disease (terutama kanker dan alzheimer) pun secara aktif mempercantik eksekusinya.

Intinya, para pembuat film makin menyadari keusangan formulanya. Diadaptasi dari novel karya Nadzira Shafa, istri dari mendiang Amer Azzikra, 172 Days sayangnya bak masih tertinggal di masa lalu. Sebab, di bawah arahan Hadrah Daeng Ratu selaku sutradara, filmnya pun seperti ragu-ragu memaksimalkan formula disease.

172 Days mengisahkan tentang seorang perempuan bernama Nadzira Shafa (Yasmin Napper) yang memutuskan untuk berhijrah dan ingin menjalani kehidupan yang lebih baik. Sebelumnya, ia terjebak dalam lingkungan serta pergaulan yang sangat bebas serta jauh dari agama. Dari proses hijrahnya tersebut, Nadzira Shafa mulai banyak mempelajari tentang ilmu agama serta kerap kali hadir dalam suatu majlis pengajian.

Pada suatu hari di tempat pengajiannya tersebut, Nadzira Shafa menjumpai seorang ustad yang bernama Ameer Azzikra (Bryan Domani). Dari perkenalannya dengan ustadz Ameer Azzikra, Nadzira Shafa diajak untuk berta'aruf dengannya hingga menjalani kisah cinta setelah menikah.

Setelah menikah dan menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis selama 172 hari lamanya, tiba-tiba ustadz Ameer Azzikra jatuh sakit. Nadzira dengan setianya menemai suaminya tersebut hingga tiba waktunya ia dinyatakan wafat oleh dokter. Lalu, bagaimana kehidupan Nadzira selanjutnya?

Ya, layaknya film-film bertema disease yang lain, 172 Days akan dimulai dengan gambaran pasangan yang bahagia. Penonton akan diajak melihat bagaimana kehidupan kedua tokoh ini bisa tampak sempurna. Namun penonton mendadak harus merasakan bagaimana perjuangan keduanya dalam mempertahankan jalinan kasih mereka, di saat sosok Ameer tahu akan berakhir meninggalkan Nadzira. Perlu banyak kesabaran, film ini pada akhirnya akan mengajarkan cinta yang tulus dalam suatu hubungan.

Tensi filmnya pun dibuat naik ketika hubungan Ameer dan Nadzira menjadi serba salah, penonton pun berhasil ikut dibuat bimbang. Setiap sudut pandangnya berganti, keberpihakan penonton pun menjadi ikut berubah. Pilihannya, antara Nadzira yang tetap ingin bersama meski akan ditinggalkan atau Ameer yang merasa lebih baik meninggalkan kekasihnya di saat masih hidup. Konflik ini terus bergulir hingga akhir film.

Tapi sayangnya, 172 Days seakan melupakan bahwa di balik penyakit, ada penderita beserta para keluarganya. Film ini seolah tidak memperdulikan manusia di sekitarnya. Ada intensi menuturkan tentang bagaimana penyakit, yang daripada memisahkan malah menyatukan sebuah keluarga. Tapi jangankan mengolahnya dengan baik, menjaga konsistensi penokohan saja naskahnya tidak cukup mampu.

Sangat ironis ketika mendapati film ini berpotensi lebih efektif jika dikemas layaknya tearjerker standar karena cukup kuatnya beberapa momen emosional berkat akting para pemain serta penyuguhan konflik yang dewasa. Amat disayangkan 172 Days gagal menyulut harapan seperti tujuan awalnya.

Tapi, penggarapan yang well-made khususnya bermodalkan sinematografi dipadu tata artistik menawan ikut menjadi penyokong kekuatan sinematiknya, dan itu menjadi bukti bahwa filmnya tak sekadar menjual pesan moral.