Review Film Air Mata di Ujung Sajadah: Angin Segar untuk Genre Film Reliji Indonesia

Baba Qina - Jumat, 8 September 2023 15:38 WIB
Review Film Air Mata di Ujung Sajadah: Angin Segar untuk Genre Film Reliji Indonesia

Di tengah gempuran film horor, penonton bioskop di Indonesia mendapat kesegaran baru dengan rilisnya film Air Mata Di Ujung Sajadah yang diproduksi oleh Beehave Pictures bekerjasama dengan MBK Productions. Film yang berjudul Air Mata Di Ujung Sajadah ini juga akan menjadi debut artis senior Nafa Urbach sebagai seorang produser.

Air Mata Di Ujung Sajadah berkisah tentang Aqilla (Titi Kamal) yang melahirkan bayi dari pernikahan yang tidak direstui oleh ibundanya. Setelah suami Aqilla meninggal karena kecelakaan, sang ibu lalu membohongi Aqilla bahwa bayinya meninggal saat dilahirkan. Sang ibu terpaksa berbohong karena menurutnya Aqilla belum siap menjadi seorang ibu, apalagi tanpa kehadiran sosok suami.

Bayi tersebut lantas diberikan kepada pasangan yang sudah lama menikah tapi belum memiliki keturunan, yakni Arif (Fedi Nuril) dan Yumna (Citra Kirana). Bayi itu dinamai Baskara, yang berarti cahaya. Kehadiran Baskara di rumah keluarga Arif dan Yumna memang ibarat cahaya yang menerangi dan membawa kebahagiaan bagi seisi rumah.

Tujuh tahun kemudian, Aqilla mengetahui bahwa anaknya masih hidup. Dia bertolak dari kehidupannya yang hampa dan berusaha mendapatkan kembali Baskara. Lalu, apakah Aqilla tega merenggut Baskara yang sudah dirawat dan dicintai oleh Yumna selama tujuh tahun tersebut?

Yap, Air Mata Di Ujung Sajadah memang menjadi angin segar bagi genre religi Indonesia yang biasanya seringkali bertaburan plot perselingkuhan, cinta segitiga, atau poligami. Dengan sinopsis yang cukup modern dan relate bagi beberapa orang, boleh jadi filmnya akan membuat air mata sobat teater akan menetes di banyak bagiannya.

Bicara soal aspek visual, filmnya cukup membuat kaget, karena dari apa yang diberikan, ternyata tidak ada yang membuat kita menggerutu sepanjang film sambil bergumam "ih shot-nya kok kaya sinetron ya?". Sama sekali tidak. Grading warnanya pun terlihat natural, dan blocking tiap pemain juga tertata rapi. Ada beberapa shot yang akan membuat kita memberikan apresiasi lebih, yaitu saat di scene yang berhubungan dengan pintu atau jendela. Seakan-akan hubungan antara mereka dibatasi oleh dua simbol tersebut.

Beralih ke aspek cerita. Naskah yang ditulis di sini juga cukup solid dengan beberapa dialog yang terdengar tegas. Beberapa kalimat membuat kita bisa memahami dilema yang terjadi di antara para karakternya. Hanya saja, harus diakui, cara merangkai kata di beberapa bagiannya seringkali masih terdengar “miss”. Pun ada beberapa scene yang terasa terburu-buru, yang membuat cukup sulit bagi kita untuk berempati ke karakternya.

Tapi tetap, kekurangan yang minor tadi otomatis akan tertutupi dengan jalinan pengisahannya yang amat relate bagi sebagian penonton di Indonesia. Dan pada akhirnya, jika sobat teater ingin mencoba alternatif tontonan lain yang berbau drama, Air Mata Di Ujung Sajadah boleh untuk dijadikan pilihan. Apalagi jika ditonton bersama anggota keluarga tercinta.