Review Film The Running Man: Aksi Futuristik Seru dengan Sentuhan Satire Sosial

Tim Teaterdotco - 2 jam yang lalu
Review Film The Running Man: Aksi Futuristik Seru dengan Sentuhan Satire Sosial

Sutradara Edgar Wright kembali menarik perhatian lewat adaptasi terbaru The Running Man, novel karya Stephen King yang ditulis dengan nama pena Richard Bachman. Film ini membawa penonton ke masa depan yang suram, tepatnya tahun 2025, di mana dunia dilanda krisis ekonomi dan hiburan ekstrem menjadi pelarian masyarakat.

Glen Powell memerankan Ben Richards, seorang ayah yang putus asa mencari uang untuk menyembuhkan anaknya yang sakit. Tak ada pekerjaan yang mau menerimanya, hingga ia nekat mengikuti acara televisi brutal bernama The Running Man, sebuah kompetisi mematikan di mana peserta harus bertahan hidup selama 30 hari sambil diburu oleh pembunuh profesional.

Wright menampilkan dunia distopia yang memukau, lengkap dengan teknologi usang seperti televisi tabung dan kaset VHS yang menciptakan nuansa retro. Di balik tampilan futuristik itu, film ini menyindir cara media mengendalikan masyarakat dan bagaimana kekerasan dijadikan hiburan.

Aksi Intens dan Kritik Tajam terhadap Media

Seperti karya-karya Edgar Wright sebelumnya, film ini penuh dengan energi dan adegan aksi cepat yang dikemas dengan gaya khas sang sutradara. Beberapa adegan kejar-kejaran dibuat dengan koreografi yang menegangkan, sementara penggunaan musik pop klasik seperti Keep on Running memberi sentuhan khas Wright yang penuh gaya.

Namun bukan hanya soal aksi. The Running Man juga menjadi sindiran terhadap masyarakat yang terobsesi dengan tontonan ekstrem dan kapitalisme media. Colman Domingo tampil memikat sebagai Bobby T, pembawa acara flamboyan yang memandu pertunjukan berdarah ini, sementara Josh Brolin memerankan Dan Killian, produser licik yang memanipulasi acara demi rating tinggi.

Keduanya menjadi simbol dunia hiburan yang kejam dan tidak berperasaan, menggambarkan bagaimana manusia bisa menikmati penderitaan sesamanya atas nama hiburan.

Glen Powell Menunjukkan Kelasnya

Sebagai Ben Richards, Glen Powell tampil meyakinkan. Ia bukan tipikal pahlawan tangguh seperti Arnold Schwarzenegger di versi tahun 1987, melainkan sosok yang lebih manusiawi dan emosional. Perannya sebagai ayah yang terjebak sistem tidak adil terasa relevan dengan kondisi sosial masa kini.

Powell berhasil menunjukkan sisi lembut di balik ketegasan karakternya. Ia tampil karismatik dan membawa energi baru dalam film ini. Meski begitu, beberapa pengamat menilai Wright terlalu bermain aman. Kritik sosial yang seharusnya tajam justru terasa ringan dan terkadang tersamarkan oleh gaya humor khas sang sutradara.

Hiburan Penuh Gaya tapi Kurang Menggigit

Secara keseluruhan, The Running Man adalah tontonan yang memadukan aksi menegangkan, satire sosial, dan visual yang keren. Edgar Wright berhasil membangun dunia futuristik yang terasa hidup, sementara Glen Powell membawa dimensi emosional yang kuat.

Meski demikian, film ini tampak ragu menentukan arah. Di satu sisi, ia ingin menjadi tontonan aksi besar, namun di sisi lain mencoba menyampaikan pesan sosial yang mendalam. Hasilnya, film ini berada di tengah: seru dan penuh gaya, tetapi tidak sepenuhnya menggigit.

Bagi pecinta film aksi dengan nuansa distopia dan elemen satire, The Running Man tetap layak ditonton. Film ini menyajikan hiburan yang mengalir, berisi pesan relevan, dan membuktikan bahwa Wright masih punya tenaga untuk menghadirkan tontonan yang cerdas sekaligus menyenangkan.