Review Shutter: Kisah Fotografer yang Dihantui Rasa Bersalah dan Kebenaran yang Tersembunyi

Tim Teaterdotco - 6 jam yang lalu
Review Shutter: Kisah Fotografer yang Dihantui Rasa Bersalah dan Kebenaran yang Tersembunyi

Falcon Pictures kembali menghidupkan kembali kisah horor legendaris Shutter, kali ini dalam versi Indonesia yang digarap oleh sutradara Herwin Novianto. Film ini merupakan adaptasi dari film Thailand berjudul sama yang dirilis pada 2004, garapan Banjong Pisanthanakun dan Parkpoom Wongpoom. Meski kisahnya serupa, versi terbaru ini dikemas lebih emosional dan terasa dekat dengan realitas sosial masyarakat Indonesia.

Produser Frederica mengatakan, Shutter versi Indonesia tidak hanya menonjolkan ketegangan khas film horor, tetapi juga membawa pesan penting tentang trauma, kekerasan seksual, dan keadilan bagi korban. Falcon Pictures bahkan menggandeng Komnas HAM dalam kampanye #SafeSpaceForAll, agar pesan moral film ini bisa tersampaikan dengan lebih kuat.

“Falcon masih belajar bikin film horor, tapi kami ingin ada pesan yang tersampaikan, bahwa pria seharusnya tidak menyakiti wanita,” ujar Frederica saat konferensi pers di Plaza Indonesia XXI, Jakarta Pusat.

Kisah Seorang Fotografer dan Bayangan Masa Lalu

Film ini berpusat pada Darwin (Vino G. Bastian), seorang fotografer muda yang hidupnya berubah setelah mengalami kecelakaan bersama kekasihnya Pia (Anya Geraldine). Mereka menabrak seorang perempuan misterius di jalan malam hari. Tak lama setelah kejadian itu, sosok perempuan tersebut terus muncul dalam hasil foto Darwin, seolah menatap dari balik kegelapan.

Awalnya, teror yang dialami Darwin terlihat seperti gangguan makhluk gaib. Namun seiring berjalannya cerita, Pia menemukan fakta mengejutkan: sosok yang menghantui mereka ternyata korban kejahatan masa lalu yang penuh luka dan ketidakadilan. Dari sinilah film Shutter mulai memperlihatkan lapisan cerita yang lebih dalam, menyinggung isu pelecehan seksual di lingkungan kampus dan lemahnya sistem perlindungan terhadap korban.

Akting Vino G. Bastian Bikin Merinding

Vino G. Bastian kembali menunjukkan kualitas aktingnya. Ia berhasil menampilkan sisi rapuh dan tertekan dari seorang pria yang diburu rasa bersalah. Tatapan kosong, gestur gelisah, hingga raut ketakutan yang tersimpan membuat karakter Darwin terasa hidup.

Penampilan Anya Geraldine juga patut diapresiasi. Ia tampil alami sebagai Pia, sosok kekasih yang berani menggali kebenaran. Ditambah kehadiran Niken Anjani, interaksi ketiganya terasa realistis dan tidak dibuat-buat. Dialog dalam film ini juga mengalir alami, tidak terasa seperti hasil terjemahan dari naskah asing.

Sutradara Herwin Novianto sukses meramu unsur horor dengan drama psikologis tanpa kehilangan tensi ketegangan. Ia membangun rasa takut secara perlahan, lewat kilatan kamera dan atmosfer yang mencekam, bukan hanya lewat jumpscare.

Ketegangan yang Berujung Empati

Yang menarik, Shutter tidak sekadar menakut-nakuti penonton. Herwin Novianto berhasil membuat rasa takut itu berubah menjadi empati. Sosok hantu di sini bukan hanya simbol teror, tapi juga lambang dari korban yang mencari keadilan dan pengakuan.

Film ini mengingatkan bahwa rasa bersalah dan trauma bisa menghantui lebih dalam dari makhluk gaib mana pun. Lewat pendekatan ini, Shutter terasa berbeda dari film horor pada umumnya, menghadirkan pesan moral yang kuat sekaligus pengalaman emosional yang menggugah.

Shutter (2025) adalah contoh remake yang berhasil menyeimbangkan ketegangan dan kedalaman cerita. Film ini bukan hanya menakutkan, tetapi juga mengajak penonton berpikir dan merasakan sisi kemanusiaan di balik kisah horornya.

Dengan akting yang solid, penyutradaraan yang matang, serta pesan sosial yang relevan, Shutter menjadi film horor lokal yang layak ditonton di penghujung tahun ini. Namun, karena mengangkat tema sensitif, film ini tidak direkomendasikan untuk penonton di bawah 17 tahun.

Film Shutter mulai tayang di seluruh bioskop Indonesia pada 30 Oktober 2025.