Review Siksa Neraka: Film Horor dengan Kualitas CGI yang Mumpuni

Baba Qina - Kamis, 14 Desember 2023 18:16 WIB
Review Siksa Neraka: Film Horor dengan Kualitas CGI yang Mumpuni

Pengalaman yang mungkin masih membekas bagi sebagian masyarakat Indonesia yang tumbuh besar pada dekade 70an hingga 90an adalah ketika membaca sebuah komik yang mampu menggerakan tubuh untuk lebih giat lagi dalam beribadah.

Ya, komik-komik itu dikenal sebagai serie komik Siksa Neraka. Komik ini meninggalkan kesan yang cukup mendalam bagi para pembacanya. Bagaimana tidak, karena komik-komik tadi coba memperkenalkan ajaran agama Islam dengan cara yang tidak biasa, yakni melalui gambar-gambar sadis penuh siksaan.

Kini, sineas Anggy Umbara mencoba mengangkat komik tadi ke dalam medium film dengan judul yang sama, Siksa Neraka. Filmnya sendiri akan mengikuti empat kakak beradik, Saleh (Rizky Fachrel), Fajar (Kiesha Alvaro), Tyas (Ratu Sofya), dan Azizah (Nayla Purnama) yang tumbuh di lingkungan keluarga agamis.

Sejak kecil, mereka terbiasa diberi ceramah soal kisah surga dan neraka. Orang tua mereka berharap anak-anaknya bisa mengamalkan perbuatan yang akan membawa ke surga dan menghindari dosa-dosa yang akan membawa mereka ke neraka. Apalagi, ayah mereka (Ariyo Wahab) merupakan seorang ustaz muda terpandang di desa mereka.

Suatu malam, Saleh dan adik-adiknya melakukan perjalanan diam-diam ke desa seberang yang mengharuskan mereka menyeberangi sungai. Air sungai yang meluap membuat keempat kakak beradik tersebut terseret arus sungai yang deras dan menghilang. Usai berhari-hari dilakukan pencarian, satu persatu dari mereka mulai ditemukan dengan kondisi tak bernyawa.

Singkat cerita, Saleh terbangun di alam lain yang mirip dengan neraka yang selalu dikisahkan ayahnya. Di sana, Saleh melihat beragam rangkaian siksaan yang mengerikan, berupa lidah yang terpotong, tangan yang dipenggal, sengatan makhluk raksasa, serta terpanggang oleh alat pemanas dengan api yang membara. Lantas, bagaimanakah nasib Saleh dan adik-adiknya?

Sejatinya, Siksa Neraka memiliki premis yang sangat sederhana dan lebih kurang sama dengan sinetron-sinetron reliji yang biasa dipertontonkan di stasiun-stasiun televisi kita. Sayangnya, Lele Leila selaku penulis skenario seperti kebingungan dalam merangkai ceritanya walaupun sudah bersumber dari komik. Dia seperti tidak paham ingin bercerita tentang film reliji yang memberikan pengajaran yang bertujuan untuk “menginsafkan” penonton.

Sama halnya dengan Sijjin, film yang juga ditulis oleh Lele Leila belum lama ini, di mana setiap karakternya tidak memiliki backgrond cerita yang kuat hingga membuat penonton tidak bisa berinvestasi emosi pada tiap karakter-karakternya, baik yang terkena siksa neraka, maupun karakter-karakter orangtua yang ditinggalkannya. Esensi penyiksaan demi penyiksaan di neraka pun pada akhirnya terasa kurang kuat karena lemahnya cerita dan karakter-karakter utama yang ada.

Walaupun begitu, CGI yang digunakan di dalam film ini boleh dikatakan cukup bagus. Sobat teater yang lemah jantung dijamin akan dibuat meringis ketakutan atau bahkan ikut kesakitan karena cukup realistisnya CGI yang digunakan tadi. Walaupun mungkin akan terlihat sedikit kontroversial, karena sepemahaman penulis, ajaran Islam tidak mengajarkan penggambaran neraka dan penghuninya seperti yang ada di dalam film ini.

Pada akhirnya, apakah film ini akan “menginsafkan” para penontonnya? Well, itu kembali ke sobat teater yang menonton film ini. Tapi bolehlah jika suatu saat nanti ada sineas Indonesia yang juga berniat mengangkat komik berjudul Taman Firdaus karya KT Ahmar ke medium film sebagai pembanding atas film ini kelak.