Review Film Pangku: Potret Pilu dan Hangatnya Cinta Seorang Ibu di Jalur Pantura
Tim Teaterdotco - 5 jam yang lalu
Film Pangku menjadi tonggak baru bagi Reza Rahadian yang untuk pertama kalinya duduk di kursi sutradara. Setelah tayang perdana di Busan International Film Festival (BIFF) 2025 dan meraih tujuh nominasi di Festival Film Indonesia (FFI) 2025, film ini akhirnya resmi hadir di bioskop mulai 6 November 2025. Dengan latar kehidupan keras di jalur Pantura pada akhir 1990-an, Pangku menghadirkan drama sosial yang menyentuh sekaligus membuka mata tentang perjuangan perempuan di tengah keterbatasan hidup.
Kisah Perempuan dan Keteguhan Ibu
Cerita Pangku berpusat pada Sartika yang diperankan Claresta Taufan, seorang wanita muda yang tengah hamil dan terdampar di kawasan Pantura. Dalam keputusasaan, ia bertemu Bu Maya yang dimainkan Christine Hakim, pemilik warung kopi pangku yang bersedia menampungnya. Awalnya penuh harapan, hidup Sartika justru berubah setelah ia dijebak dan dipaksa bekerja sebagai pelayan di warung tersebut. Di tengah kerasnya kehidupan, Sartika tetap berjuang demi anak yang baru dilahirkan.
Reza Rahadian menuturkan kisah ini bukan sekadar potret suram perempuan pinggiran, tetapi juga surat cinta bagi para ibu. Melalui karakter Sartika, ia memperlihatkan pengorbanan tanpa batas seorang ibu demi masa depan anaknya. Bahkan dalam situasi paling getir, kasih seorang ibu tetap menjadi cahaya yang tidak pernah padam.
Sinematografi yang Realistis dan Detail yang Hidup
Dari sisi visual, Pangku menunjukkan kepiawaian Reza Rahadian sebagai sutradara baru yang matang. Sinematografinya begitu memanjakan mata dengan gambar-gambar yang penuh makna. Kamera bergerak lembut di ruang-ruang sempit warung kopi, di jalanan berdebu, hingga di pelabuhan ikan, memperlihatkan keseharian masyarakat Pantura secara autentik.
Reza menampilkan detail era 1997 hingga 1998 dengan sangat teliti. Mulai dari uang yang digunakan, kostum para pemain, hingga suasana pasar tradisional, semua terasa nyata dan memperkuat suasana masa krisis ekonomi kala itu.
Keputusan untuk meminimalisasi musik latar juga menjadi nilai lebih. Suara alam seperti deru truk, hembusan angin, dan riuh pasar menggantikan musik pengiring, menciptakan atmosfer yang intim dan jujur tanpa perlu banyak dialog.
Akting Claresta Taufan dan Christine Hakim yang Menggetarkan
Claresta Taufan tampil luar biasa sebagai Sartika. Ia berhasil memainkan berbagai lapisan emosi mulai dari ketakutan, keputusasaan, hingga kebahagiaan kecil dengan kejujuran yang memikat. Chemistry antara Claresta dan Christine Hakim terasa alami dan mengalir, menghadirkan dinamika ibu dan anak yang penuh kasih namun juga menyimpan konflik batin.
Christine Hakim kembali menunjukkan kelasnya sebagai aktris legendaris. Sebagai Bu Maya, ia tampil kuat dan berwibawa, tapi tetap memperlihatkan sisi lembut seorang ibu yang penuh kasih sayang. Kehadiran Fedi Nuril sebagai Hadi juga menambah warna lewat kisah cinta sederhana yang memberi napas hangat di tengah kisah penuh luka.
Pesan Sosial dan Makna Pangku yang Mendalam
Pangku bukan hanya film drama, tetapi juga cermin sosial yang menyoroti perjuangan perempuan dalam realitas pahit kehidupan Pantura. Reza Rahadian tidak berusaha menggurui penonton, melainkan mengajak mereka merenung lewat visual dan keheningan yang penuh makna.
Makna kata pangku dalam film ini mengalami perubahan yang kuat. Dari awalnya berarti transaksi dan sumber penghidupan yang getir, di akhir film makna itu bertransformasi menjadi simbol kasih dan perlindungan seorang ibu. Adegan penutupnya begitu menyentuh, menegaskan bahwa sekeras apa pun hidup mencoba menodai perempuan, naluri keibuan akan selalu menjadi cahaya yang menyucikan jalan hidup mereka.
Sebagai debut penyutradaraan, Pangku adalah karya yang berani, jujur, dan menyentuh. Reza Rahadian berhasil memadukan kekuatan cerita, akting yang solid, serta visual yang autentik menjadi pengalaman sinematik yang menggugah. Film ini bukan hanya kisah tentang perjuangan seorang ibu, tetapi juga refleksi sosial tentang keteguhan perempuan Indonesia.
Dengan durasi sekitar 100 menit yang minim dialog namun sarat makna, Pangku membuktikan bahwa keheningan bisa berbicara lebih dalam daripada kata-kata. Sebuah film yang layak ditonton di bioskop mulai 6 November 2025, dan akan dikenang sebagai pelukan hangat bagi setiap ibu yang tak pernah berhenti berjuang.