Review Final Destination: Bloodlines: Suguhkan Ketegangan yang Memacu Adrenalin
Tim Teaterdotco - Senin, 12 Mei 2025 09:32 WIB
Dengan premis mengenai para karakter yang berusaha untuk menghindari atau mencurangi datangnya kematian yang menghantui mereka, Final Destination yang dirilis pada tahun 2000 silam ini kemudian berkembang menjadi sebuah waralaba horor remaja yang mampu menarik perhatian begitu banyak penggemar film dunia.
Walaupun, sayangnya, penggunaan premis yang sama secara berulangkali dalam setiap seri waralaba ini justru yang akhirnya membuat seri-seri filmnya lama-kelamaan terasa begitu monoton, meskipun sepertinya setiap orang tetap saja penasaran untuk menonton lanjutan seri ini demi melihat jenis kematian apalagi yang akan ditawarkan para produser waralaba ini kepada mereka.
Kini, di seri keenam yang diberi tajuk Final Destination: Bloodlines, waralaba ini rupanya tetap menggunakan format serupa seperti film-film sebelumnya, yakni usaha sekelompok orang untuk mengelabui serangkaian kematian yang terjadi dalam satu lokasi.
Final Destination: Bloodlines berkisah tentang Stefanie (Santa Juana), seorang mahasiswi yang mulai mengalami mimpi buruk tentang sebuah kecelakaan tragis di sebuah menara pada tahun 1960. Mimpi itu begitu nyata dan berulang sehingga membuatnya merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar gangguan tidur.
Saat mencari tahu lebih dalam, Stefanie menemukan bahwa mimpi tersebut sebenarnya adalah visi yang diwariskan secara turun-temurun dalam keluarganya. Dia mengetahui bahwa neneknya adalah satu-satunya orang yang selamat dari kecelakaan fatal yang terjadi lebih dari lima puluh tahun yang lalu.
Namun, selamat dari kejadian itu bukan berarti bebas dari takdir kelam. Sejak saat itu, korban yang seharusnya meninggal dalam kecelakaan tersebut mulai mengalami kematian secara tragis satu per satu selama bertahun-tahun, seolah malaikat kematian tidak pernah melupakan mereka.
Stefanie semakin cemas saat menyadari bahwa kini giliran keturunan mereka yang menjadi target. Dengan nyawa orang-orang terdekatnya dalam bahaya, Stefanie pun harus mencari cara untuk memutus siklus ini sebelum semuanya menjadi semakin terlambat. Berhasilkah ia?
Harus diakui, Final Destination: Bloodlines memang mampu menghadirkan sebuah pacuan adrenalin yang sangat kuat pada penontonnya. Seri ini bahkan berhasil menghadirkan beberapa jebakan kematian dengan tingkat kesadisan dan kengerian yang melebihi jebakan kematian yang hadir pada seri-seri sebelumnya.
Dari mulai kepala yang tertembus kayu, wajah yang rusak akibat dihantam mesin pemotong rumput, dan tubuh-tubuh yang tergencet di truk pengangkut sampah hingga hancur, semuanya ditampilkan dengan tingkat detil gambar yang begitu kuat serta kehadiran proses kematiannya yang begitu sadis dan dipenuhi darah yang pastinya akan memenuhi setiap sudut layar bioskop. Kejutan-kejutan yang disematkan oleh sang karakter protagonis film ini untuk mengelabui sang malaikat kematian juga dijamin akan membuat sobat nonton berteriak kegirangan.
Namun, Final Destination: Bloodlines bukanlah sebuah film horor tanpa cela. Kekurangan utamanya adalah tidak adanya hal baru dalam plot film ini. Kita semua sudah sangat hafal dengan rules tentang kematian yang selalu diulang-ulang di tiap film. Kita juga pastinya tahu rules itu akan tidak terlalu berguna mengingat bagaimana nasib tokoh-tokohnya di ending yang pastinya sudah bisa ditebak. Belum lagi, film ini kembali memberikan screentime yang sedikit bagi mendiang Tony Todd, layaknya seri kelimanya, di mana karakternya terasa hanya sekadar sambil lalu.
Tapi, apapun itu, Final Destination: Bloodlines memang bukanlah film yang menawarkan gelaran akting maupun kualitas cerita tingkat tinggi, namun film ini tetaplah berhasil untuk kembali kepada hakikatnya sebagai sebuah sajian yang memvisualisasikan kematian yang bukan menjadi momen sederhana, tapi sebagai momen menegangkan pemacu adrenalin.