Avatar: Fire and Ash Bakal Jadi Film Paling Menguras Emosi di Waralaba Avatar

Tim Teaterdotco - Jumat, 11 Juli 2025 10:35 WIB
Avatar: Fire and Ash Bakal Jadi Film Paling Menguras Emosi di Waralaba Avatar

Film Avatar: Fire and Ash, sekuel ketiga dari saga Avatar karya James Cameron, dijadwalkan tayang pada 19 Desember 2025. Meski waktu rilisnya masih cukup lama, jalan cerita yang akan diangkat sudah mulai terungkap. Salah satu sorotan utama adalah dampak emosional dari kematian Neteyam, putra sulung Jake Sully dan Neytiri, dalam Avatar: The Way of Water.

Kematian Neteyam bukan sekadar tragedi, melainkan titik balik emosional bagi dua tokoh utama keluarga Sully: Lo’ak dan Tuktirey. Dalam wawancara terbaru dengan majalah Empire, pemeran keduanya—Britain Dalton dan Trinity Bliss—membagikan pandangan mereka tentang bagaimana kehilangan ini akan membentuk karakter masing-masing dalam film selanjutnya.

Lo’ak: Menyalahkan Diri Sendiri dan Menanggung Beban Kepemimpinan

Britain Dalton menjelaskan bahwa karakter Lo’ak, adik dari Neteyam, merupakan sosok yang sejak kecil memiliki jiwa kepemimpinan. Namun, selama ini ia merasa belum mendapatkan kepercayaan dari orang tuanya, terutama sang ayah. Kematian Neteyam, yang terjadi dalam situasi penuh tekanan, meninggalkan luka yang mendalam dalam diri Lo’ak.

“Lo’ak dilahirkan untuk menjadi pemimpin,” ujar Dalton. “Tapi ia merasa tak pernah benar-benar dipercaya. Ketika Neteyam meninggal, itu bukan cara yang ia bayangkan untuk akhirnya diakui. Ia menyalahkan dirinya sendiri.”

Rasa bersalah itu akan menjadi konflik batin utama bagi Lo’ak di Fire and Ash. Dalam situasi kehilangan dan kekacauan, ia dituntut untuk tampil sebagai sosok yang tangguh. Namun, di balik keberaniannya, ada beban emosional besar yang harus ia atasi.

Tuktirey: Kehilangan yang Memaksanya Dewasa Sebelum Waktunya

Sementara itu, Trinity Bliss mengungkap bahwa karakter Tuktirey atau Tuk juga mengalami perubahan besar setelah kepergian kakaknya. Sebagai anak bungsu, Tuk dikenal ceria dan penuh rasa ingin tahu. Namun kematian Neteyam adalah pengalaman pertama dalam hidupnya yang benar-benar mengguncang.

“Menurut saya, Tuk tidak akan pernah sama lagi,” kata Bliss. “Itu adalah pertama kalinya ia merasakan kehilangan. Tapi dia masih menjadi dirinya yang kecil namun kuat. Mungkin sekarang ia akan naik peran dalam keluarga Sully.”

Perubahan ini membuka peluang bagi Tuk untuk mengambil peran yang lebih signifikan, bukan hanya sebagai anak kecil yang terlindungi, tetapi sebagai penyokong emosional dalam keluarga yang sedang berduka.

Neteyam: Sosok yang Pergi Tanpa Kembali

Dalam semesta Avatar, kematian bukanlah sesuatu yang final. Kolonel Quaritch, yang tewas di film pertama, kembali dalam bentuk avatar. Begitu pula Dr. Grace, yang kembali “hidup” melalui karakter Kiri. Namun Neteyam tampaknya benar-benar telah tiada.

Tidak ada indikasi bahwa ia akan muncul kembali dalam bentuk apa pun di film ketiga. Absennya kemungkinan “kebangkitan” ini menjadikan kepergiannya terasa lebih nyata dan emosional, baik bagi karakter dalam film maupun para penonton.

Emosi Keluarga Jadi Penggerak Cerita

Berbeda dengan dua film sebelumnya yang banyak berfokus pada konflik eksternal, Avatar: Fire and Ash tampaknya akan menyoroti konflik internal dalam keluarga Sully. Kematian Neteyam memaksa semua anggota keluarga untuk beradaptasi, bertahan, dan menjalani proses penyembuhan.

Lo’ak dan Tuk akan memainkan peran sentral dalam perjalanan emosional ini. Keduanya menghadapi perubahan besar: dari sosok muda yang impulsif dan polos, menjadi individu yang harus memikul tanggung jawab dan mengatasi duka.

Film Ketiga Avatar Diprediksi Jadi yang Paling Emosional

Dengan latar dunia Pandora yang megah dan teknologi sinematik canggih, Avatar selalu berhasil memikat dari sisi visual. Namun kali ini, narasi yang ditawarkan juga menjanjikan kedalaman emosi yang lebih kuat.

James Cameron tampaknya mengarahkan cerita ke ranah yang lebih personal. Bukan sekadar petualangan dan pertempuran, tetapi kisah tentang kehilangan, penyesalan, dan kedewasaan. Hal-hal yang sangat manusiawi, bahkan di dunia alien sekalipun.