Jelang Tayang, Film Wuthering Heights Tuai Kontroversi
Tim Teaterdotco - 54 menit yang lalu
Adaptasi terbaru Wuthering Heights garapan Emerald Fennell menjadi salah satu film yang paling ramai dibicarakan menjelang penayangannya pada Februari 2026. Dengan Margot Robbie sebagai Catherine dan Jacob Elordi sebagai Heathcliff, film ini hadir dengan sentuhan visual modern, musik baru dari Charli XCX, serta gaya penceritaan yang jauh lebih gelap dibanding versi-versi sebelumnya. Pendekatan tersebut membuat film ini menuai pujian sekaligus kritik dari pencinta karya klasik Emily Brontë.
Kisah Cinta yang Kelam dan Penuh Luka
Sejak diterbitkan pada 1847, Wuthering Heights dikenal sebagai novel tragedi romantis yang menggambarkan bagaimana cinta bisa berubah menjadi sumber kehancuran. Film terbaru tetap berfokus pada kisah Heathcliff, anak yatim yang diasuh oleh keluarga Earnshaw dan kemudian tumbuh dengan dendam yang membara. Hubungan mendalam dan rumit antara Heathcliff dan Catherine menjadi pusat alur cerita yang penuh emosi, amarah, dan luka batin.
Trailer yang dirilis menunjukkan pemandangan liar pedesaan Yorkshire dengan suasana gelap dan dramatis. Gaya penyutradaraan Fennell tampak menekankan sisi psikologis karakter, hubungan toksik, dan kekerasan emosional yang menjadi ciri khas kisah ini. Musik Charli XCX yang energik ikut memperkuat kesan modern dan menegaskan bahwa film ini bukan drama klasik yang lembut, tetapi tragedi cinta yang menyayat.
Gaya Modern yang Memicu Pro-Kontra
Pendekatan Emerald Fennell membawa angin segar namun tidak semua penggemar menyukainya. Poster resmi film sempat menjadi bahan perdebatan karena dinilai terlalu kitsch dan terlihat seperti sampul novel remaja di internet. Sebagian penonton menganggap desain itu berlebihan, sementara yang lain menilai poster tersebut sesuai dengan karakter film yang dramatis dan sadar gaya.
Fennell menjelaskan bahwa filmnya bukan sekadar adaptasi teks, tetapi interpretasi dari pengalaman personal ketika pertama kali membaca novel Brontë. Ia menyebut bahwa kisah tersebut terlalu besar dan liar untuk diterjemahkan secara utuh ke dalam film berdurasi dua jam. Karena itu Wuthering Heights versinya lebih fokus pada perasaan, kesan, dan pengalaman emosional ketimbang meniru novel secara kaku.
Sorotan Soal Whitewashing dan Konteks Rasial
Namun kontroversi tidak berhenti di situ. Sejumlah kritikus menilai film ini mengabaikan konteks rasial yang kuat di novel aslinya. Dalam buku, Heathcliff digambarkan sebagai anak berkulit gelap yang menjadi simbol kecemasan kolonial masyarakat Inggris. Elemen tersebut dianggap penting karena menjadi bagian dari kritik sosial terhadap prasangka rasial di masa itu.
Keputusan casting yang menempatkan Jacob Elordi memicu tudingan bahwa adaptasi ini memutihkan karakter Heathcliff. Pihak film berargumen bahwa akurasi fisik bukan tujuan utama karena mereka ingin membawa perspektif baru yang lebih bebas. Meski begitu, pernyataan ini menuai protes dari sebagian penggemar yang merasa elemen sejarah dan kritik sosial seharusnya tetap dipertahankan.
Antusiasme Besar Menjelang Penayangan
Walau dikelilingi kontroversi, film ini diprediksi menjadi salah satu yang paling menarik perhatian di tahun 2026. Kombinasi musik orisinal, visual mencolok, bintang besar, serta keberanian menafsirkan ulang karya klasik membuat publik penasaran.
Di satu sisi film ini mungkin mengecewakan para puritan yang menginginkan kesetiaan penuh pada sumber asli. Namun di sisi lain, pendekatan baru ini dapat menyajikan pengalaman berbeda bagi penonton yang menginginkan kisah klasik dalam balutan yang lebih relevan dengan zaman sekarang.
Apakah Wuthering Heights versi Emerald Fennell akan sukses memukau generasi baru atau justru menjadi adaptasi yang dibenci? Semua akan terjawab saat filmnya resmi tayang pada 13 Februari 2026.