Review Measure in Love: Ketika Romansa Menabrak Realitas Dua Dunia yang Berbeda

Tim Teaterdotco - 2 jam yang lalu
Review Measure in Love: Ketika Romansa Menabrak Realitas Dua Dunia yang Berbeda

Film Measure in Love karya sutradara Benny Kung Siu-ping mencoba memadukan romansa dan fantasi dengan konsep besar: dua dunia yang dipisahkan oleh dinding gravitasi. Ceritanya unik dan visualnya memukau, tapi sayangnya eksekusinya membuat banyak penonton justru kebingungan. Film ini resmi tayang di bioskop Indonesia mulai 5 November 2025.

Cinta di Antara Dua Dunia yang Terpisah

Film ini mengambil latar di masa depan ketika dunia terbelah menjadi dua wilayah, Aurora Zone dan Evergreen Zone. Aurora digambarkan sebagai kota modern yang makmur, bersih, dan canggih. Sementara itu, Evergreen adalah daerah miskin dan tandus, tempat orang-orang berjuang untuk bertahan hidup.

Kedua dunia ini bukan hanya terpisah secara sosial, tapi juga secara waktu. Di Evergreen, satu tahun berjalan secepat satu hari di Aurora. Dari perbedaan inilah kisah cinta antara Ann-Jean (Angela Yuen), calon dokter dari Aurora, dan Tato (Greg Hsu), pemuda miskin dari Evergreen, dimulai.

Ann-Jean bergabung dengan organisasi kemanusiaan bernama White Doves untuk membantu warga Evergreen. Di sanalah ia bertemu Tato, yang awalnya hanya remaja miskin yang berpura-pura terluka agar bisa menolong adiknya berobat. Tapi seiring waktu, hubungan mereka berkembang jadi cinta yang tak biasa, karena setiap kali Ann-Jean kembali ke Evergreen, waktu di sana sudah melompat bertahun-tahun dan Tato telah tumbuh dewasa.

Cerita Menarik, Tapi Logika Tak Ikut Mengalir

Measure in Love punya ide besar yang sebenarnya menarik. Dinding gravitasi bisa dibaca sebagai simbol perbedaan kelas sosial dan ketimpangan ekonomi. Sayangnya, film ini lebih sibuk mengejar drama percintaan dan melupakan logika dasar dari dunia yang dibangunnya.

Banyak hal yang tidak dijelaskan dengan baik. Mengapa layanan medis untuk warga miskin dilarang? Bagaimana dua dunia bisa tetap berjalan meski waktu mereka berbeda drastis? Semua pertanyaan itu dibiarkan begitu saja tanpa jawaban.

Alhasil, cerita yang seharusnya kuat justru terasa seperti dongeng yang terlalu manis dan dipaksakan. Beberapa penonton bahkan menyebut film ini seperti Romeo dan Juliet versi masa depan, tapi tanpa kedalaman emosi dan alasan yang jelas mengapa mereka jatuh cinta begitu cepat.

Visual Memanjakan Mata, Akting Kurang Menggigit

Walau dari sisi cerita banyak kekurangan, dari sisi teknis film ini patut diacungi jempol. Efek visualnya menawan, terutama pada adegan badai besar dan perbedaan atmosfer antara Aurora dan Evergreen. Desain produksinya juga berhasil menciptakan suasana futuristik yang kontras dengan kesengsaraan dunia seberang.

Namun untuk urusan akting, performa dua pemeran utamanya terasa kurang seimbang. Greg Hsu tampil menawan dan berhasil mencuri perhatian sebagai Tato, sementara Angela Yuen terlihat kaku dan sulit menyampaikan emosi yang dalam. Chemistry keduanya pun terasa datar, sehingga penonton sulit ikut terbawa dalam kisah cinta mereka.

Kisah Romantis yang Indah Tapi Kurang Makna

Di balik kekurangannya, Measure in Love tetap menyampaikan pesan sederhana: waktu dan jarak tidak selalu bisa mengalahkan cinta, tapi tanpa pemahaman dan komunikasi, cinta pun bisa kehilangan maknanya.

Jika dibandingkan dengan film Jepang Hanamizuki yang juga menampilkan cinta jarak jauh lewat simbol laut, Measure in Love terlihat kurang matang dalam membangun emosinya. Ia indah secara tampilan, tapi kosong secara makna.

Secara keseluruhan, film ini cocok untuk penonton yang mencari tontonan romantis dengan visual megah, namun mungkin akan mengecewakan bagi mereka yang ingin cerita dengan logika dan pesan yang lebih kuat.