Review Anaconda: Ular Raksasa Kembali dengan Sentuhan Komedi
Tim Teaterdotco - 3 jam yang lalu
Nama Anaconda mungkin langsung mengingatkan penonton pada film horor tahun 1997 yang terkenal absurd, penuh keputusan konyol, dan efek visual yang kini terasa jadul. Film tersebut memang bukan karya klasik, tapi justru dikenang karena keanehannya. Versi terbaru Anaconda yang tayang pada 2025 mencoba memanfaatkan reputasi itu dengan pendekatan berbeda: bukan horor serius, melainkan komedi meta yang sadar diri dan gemar menertawakan Hollywood.
Disutradarai Tom Gormican, film ini lebih tertarik membahas soal mimpi lama, persahabatan, dan kegilaan industri film ketimbang sekadar menyajikan teror ular raksasa. Sayangnya, ide menarik itu tidak selalu berbuah tawa atau ketegangan yang benar-benar berkesan.
Kisah Teman Lama dan Mimpi yang Tertunda
Cerita berpusat pada Doug (Jack Black), mantan sineas penuh ambisi yang kini terjebak sebagai videografer pernikahan di kota kecil Buffalo. Hidupnya berjalan aman, tapi jauh dari mimpi besarnya. Suatu hari, ia kembali bertemu Griff (Paul Rudd), sahabat lama yang merantau ke Hollywood namun hanya mencicipi peran kecil sebagai aktor figuran.
Pertemuan itu memicu ide nekat: membuat ulang film Anaconda, film favorit mereka saat remaja. Bersama Kenny (Steve Zahn) dan Claire (Thandiwe Newton), mereka berangkat ke Amazon untuk mewujudkan proyek penuh nostalgia tersebut. Dari sinilah film mulai bermain-main dengan konsep remake, reboot, hingga istilah “spiritual sequel” yang sering dipakai Hollywood.
Duet Jack Black dan Paul Rudd Jadi Penyelamat
Daya tarik utama film ini jelas terletak pada kolaborasi Jack Black dan Paul Rudd. Keduanya punya chemistry yang natural dan terasa hangat sebagai dua sahabat yang mencoba menghidupkan kembali mimpi lama. Rudd tampil sebagai aktor yang sok serius tapi tetap simpatik, sementara Black justru lebih kalem dari biasanya, meski sesekali tetap meledak dengan gaya khasnya.
Steve Zahn mencuri perhatian lewat karakter Kenny yang ceroboh namun tulus, sering menjadi sumber humor paling efektif. Sementara itu, Thandiwe Newton dan Daniela Melchior hadir dengan porsi yang terasa kurang maksimal, membuat karakter mereka sulit benar-benar melekat.
Meski mengusung nama besar Anaconda, film ini nyaris menjauh dari horor. Ular raksasa versi CGI memang lebih besar dan modern, namun jarang terasa mengancam. Adegan menegangkan berlangsung singkat, sebagian besar tertutup gelap, dan cepat berlalu tanpa meninggalkan kesan mendalam.
Sebaliknya, film lebih sibuk dengan adegan kejar-kejaran, slapstick, dan humor situasional. Ada beberapa momen yang cukup menghibur, namun banyak juga lelucon yang terasa tanggung. Potensi komedi sebenarnya besar, tapi sering tidak dimanfaatkan secara maksimal.
Sebagai film yang menyindir budaya daur ulang IP lama, Anaconda seharusnya bisa tampil lebih tajam. Sayangnya, sindiran yang disampaikan terasa terlalu hati-hati. Film ini seolah ingin menertawakan Hollywood, namun enggan benar-benar menyentil terlalu keras.
Meski begitu, ada nuansa hangat yang membuat film ini tetap enak diikuti. Cerita tentang persahabatan, kegagalan, dan keinginan untuk kembali bermimpi menjadi nilai plus yang membuat Anaconda tidak sepenuhnya kosong.
Anaconda (2025) bukan film horor yang menegangkan, juga bukan komedi yang membuat perut sakit karena tertawa. Namun sebagai tontonan ringan, film ini masih punya pesona berkat konsep unik dan performa para pemain utamanya. Ia mungkin tidak akan diingat sebagai remake terbaik, tetapi cukup menghibur bagi penonton yang datang tanpa ekspektasi berlebihan dan sekadar ingin menikmati petualangan absurd dengan sentuhan nostalgia.