Review Cocote Tonggo, Komedi Satir tentang Gunjingan Tetangga

Yurinda - Senin, 19 Mei 2025 08:21 WIB
Review Cocote Tonggo, Komedi Satir tentang Gunjingan Tetangga

Cocote Tonggo hadir sebagai film komedi-drama keluarga yang segar dan penuh sindiran sosial, mengangkat realitas masyarakat urban Jawa yang akrab dengan budaya gosip dan tekanan sosial. Disutradarai oleh Bayu Skak, film ini mulai tayang di bioskop Indonesia sejak 15 Mei 2025.

Cocote Tonggo menjadi kolaborasi perdana antara SKAK Studios dan Tobali Film. Keduanya berkolaborasi dengan membawa satu tujuan yang sama, ingin menghadirkan komedi lokal dengan sentuhan khas Jawa yang mudah dicerna.

Cerita Cocote Tonggo berpusat pada pasangan Luki (Dennis Adhiswara) dengan Murni (Ayushita), penjual jamu kesuburan yang justru belum dikaruniai anak. Ironi kehidupan mereka menjadi bahan gunjingan para tetangga, terutama Bu Pur (Asri Welas), yang menambah tekanan psikologis pada pasangan ini.

Situasi semakin pelik ketika gosip tentang Murni yang dianggap memiliki rahim lemah, yang membuat bisnis jamu warisan keluarga mereka terancam sepi pelanggan. Demi menjaga nama baik keluarga dan toko jamu, Luki dan Murni nekat berpura-pura hamil serta mengakui seorang bayi yang mereka temukan sebagai anak kandung.

Sandiwara ini menimbulkan berbagai situasi yang sarat akan komedi. Akan tetapi, di balik kelucuan tersebut, film ini juga menghadirkan momen haru ketika kebohongan mereka mulai terkuak di tengah masyarakat yang penuh prasangka.

Film ini didukung deretan aktor dan aktris ternama, seperti Bayu Skak, Sundari Soekotjo, Brilliana Arfira, Ika Diharjo, dan Furry Setya. Chemistry yang terbangun antara Ayushita dan Dennis Adhiswara terasa begitu natural. Ayushita berhasil tampil luwes saat memerankan karakter Murni.

Meski dialek Jawanya belum sempurna, tapi kepiawaiannya dalam dunia peran membuat peran Murni tetap terasa jujur dan menggemaskan. Para pemeran pendukung, terutama Asri Welas sebagai Bu Pur, sukses menghadirkan karakter tetangga yang cerewet dan suka ikut campur, membuat suasana film semakin hidup.

Salah satu kekuatan Cocote Tonggo adalah penggunaan dialek bahasa Jawa yang dominan, dipadukan dengan bahasa Indonesia sehingga tetap mudah diikuti penonton dari berbagai latar belakang. Latar lokasi dipilih yaitu kampung di Laweyan, Solo, semakin menunjukkan keaslian suasana sekaligus memperkuat pesan film tentang tekanan sosial akibat standar masyarakat yang kerap dipaksakan.

Film ini tidak hanya mengocok perut lewat dialog satir dan situasi yang terasa absurd, tapi juga mengajak penonton untuk merenung tentang pentingnya hidup tanpa harus selalu mengikuti “cocote tonggo” (omongan tetangga). Konflik dan dinamika keluarga Luki dan Murni menjadi cermin bagi banyak keluarga di Indonesia yang sering terjebak dalam ekspektasi sosial.

Cocote Tonggo adalah komedi satir yang cerdas, menghibur, sekaligus menyentil realitas sosial masyarakat Indonesia. Dengan cerita yang dekat dengan keseharian, akting yang solid, serta pesan moral yang relevan, film ini layak menjadi tontonan keluarga dan siapa saja yang ingin tertawa sekaligus merenung tentang arti kebahagiaan sejati.