Review Film A Writers Odyssey 2: Visual Spektakuler dengan Sentuhan Budaya Tiongkok
Tim Teaterdotco - Kamis, 16 Oktober 2025 10:31 WIB
Film A Writer’s Odyssey 2 membawa penonton kembali ke dunia ganda ciptaan sutradara Lu Yang, di mana batas antara realitas dan imajinasi makin kabur. Sekuel ini melanjutkan kisah Lu Kongwen, seorang penulis yang harus berhadapan dengan ciptaannya sendiri. Jika film pertama berfokus pada kisah keluarga dan balas dendam, kali ini ceritanya jauh lebih personal dan filosofis. Film ini berbicara tentang pencipta yang kehilangan kendali atas dunianya sendiri.
Visual Spektakuler dengan Sentuhan Budaya Tiongkok
Salah satu daya tarik utama A Writer’s Odyssey 2 ada pada visualnya yang menakjubkan. Lu Yang berani menolak formula efek visual ala Hollywood dan memilih pendekatan yang berakar pada estetika Tiongkok klasik. Hasilnya adalah dunia fantasi yang terasa megah sekaligus puitis.
Cloud City kini tampil jauh lebih besar dan kompleks dari film pertama. Ada lanskap baru seperti rawa, padang salju, jurang, hingga “Alam Rahasia Primordial” yang digambarkan seperti gerbang menuju dunia para dewa. Setiap tempat didesain dengan detail luar biasa, menggabungkan efek visual modern dan konstruksi nyata yang membuatnya terasa hidup.
Yang menarik, kekuatan para tokoh tidak sekadar efek CGI yang meledak-ledak. Semuanya punya makna simbolik. “Lima Harimau Langit” memiliki kekuatan yang merefleksikan kondisi batin masing-masing. Sementara Iblis Berambut Merah, sang antagonis, bukan sekadar monster, melainkan wujud dari ambisi dan kekacauan batin Lu Kongwen sendiri. Setiap elemen visual punya alasan dan makna di baliknya.
Cerita Ambisius tentang Batas Realitas dan Imajinasi
Kalau di film pertama dua dunia berjalan paralel, kali ini batas antara dunia nyata dan dunia dalam novel “Godslayer” benar-benar hancur. Karakter fiksi muncul di dunia nyata, dan realitas pun mulai terdistorsi. Lu Kongwen tidak lagi sekadar menulis cerita, ia hidup di dalamnya.
Tokoh Jiu Tian menjadi lambang hati nurani dan moralitas, sedangkan Iblis Berambut Merah adalah sisi gelap yang tak terkendali. Pertarungan mereka adalah simbol dari konflik batin sang penulis, antara prinsip dan ambisi, antara kendali dan kehancuran.
Namun, ambisi besar film ini juga jadi pedang bermata dua. Di paruh kedua, alur cerita mulai terasa berat dan membingungkan. Beberapa konsep seperti “nested void realms” justru menambah kekusutan, bukan kedalaman. Penonton bisa saja kehilangan arah di tengah dunia yang terlalu kompleks.
Visual Indah, Tapi Kurang Bernyawa
Dengan dunia seindah itu, seharusnya sinematografi bisa membuat setiap adegan terasa magis. Sayangnya, banyak adegan justru tampil terlalu terang dan datar. Cahaya yang berlebihan membuat atmosfer misterius yang dibangun di awal perlahan memudar.
Adegan aksi pun terkadang terasa mekanis, seperti gerakan tanpa emosi. Padahal, dengan desain set dan mitologi sekuat ini, film berpotensi menjadi tontonan yang benar-benar imersif dan menggugah.
A Writer’s Odyssey 2 adalah film fantasi Tiongkok yang berani melangkah lebih jauh dari pendahulunya. Film ini memadukan visual megah, tema eksistensial, dan simbolisme budaya Timur dalam satu paket yang indah.
Meski ceritanya kadang tersesat dalam kompleksitas dan sinematografinya tidak selalu seimbang, ide besar yang diusung tetap patut dihargai.
Bagi kamu yang suka film fantasi dengan dunia luas, konflik batin yang dalam, dan visual yang menawan, A Writer’s Odyssey 2 wajib masuk daftar tontonan.