Review Film Menjelang Magrib 2: Wanita yang Dirantai
Yurinda - Kamis, 11 September 2025 08:17 WIB
Menjelang Magrib 2: Wanita yang Dirantai menjadi salah satu rekomendasi film bergenre horor lain yang dapat menjadi tontonan akhir pekan. Film ini bercerita tentang tabir kelam praktik pemasungan yang terjadi di salah satu desa di Indonesia pada masa kolonial.
Disutradarai oleh Helfi C.H. Kardit, film horor psikologis ini mengajak penonton kembali ke tahun 1920-an dengan latar pemerintahan Hindia Belanda. Ketika itu, Universitas Stovia mulai mencetak dokter pribumi yang penuh dengan idealisme mereka masing-masing.
Cerita dimulai saat Giandra (Aditya Zoni), seorang dokter muda yang memiliki cita-cita tinggi, membaca sebuah berita di Javasche Courant tentang seorang gadis di Desa Karuhun yang dirantai karena dianggap gila oleh warga setempat. Tindakan pemasungan tersebut masih dipandang sebagai metode ‘penyembuhan’ oleh masyarakat setempat, melalui campur tangan dukun dan ritual mistis, praktik yang sangat bertentangan dengan prinsip ilmiah yang dianut Giandra.
Dorongan empati dan integritas ilmiah membawa Giandra menempuh perjalanan panjang dengan pedati yang ditarik kerbau ke desa terpencil tersebut. Sesampainya di desa, ia bertemu dengan Rikke (Aurelia Lourdes), seorang jurnalis keturunan Belanda-pribumi yang menulis berita tentang gadis itu.
Pertemuan mereka hanya diwarnai tiga kata dari Rikke: “Budaya, Mistisisme, dan Takhayul”. Ketiganya menjadi kunci penting dalam menghadapi konflik batin yang kian mendalam. Gadis yang dirantai itu bernama Layla (diperankan oleh Aisha Kastolan).
Layla bukan sekadar korban fisik, melainkan simbol tragedi sosial akibat ketidaktahuan dan tradisi turun-temurun yang begitu mengekang. Sementara itu, Giandra berusaha menyelamatkannya dengan pendekatan medis, tapi warga desa tetap berpegang pada ritual lama, menjadikan setiap adegan semakin mencekam.
Lebih dari sekadar cerita horor, film Menjelang Magrib 2: Wanita yang Dirantai juga menyoroti lapisan kritik sosial: pentingnya pendidikan, kesadaran akan kesehatan mental, dan perlindungan terhadap hak-hak individu, terutama untuk anak dan perempuan. Belenggu akan rasa takut pada yang berbeda dan ketidaktahuan bisa melahirkan tindakan yang terasa seperti di luar akal sehat, seperti pemasungan, yang dokumentasinya masih ada di Indonesia hingga era modern.
Secara visual, atmosfer film ini dibangun dengan sinematografi yang gelap dan remang, pencahayaan dramatis, dan sudut pengambilan kamera yang menyiratkan ketegangan psikologis. Tidak sekadar menakutkan, tetapi menyiksa perasaan penonton dengan rasa tidak nyaman yang muncul secara perlahan.
Film Menjelang Magrib 2: Wanita yang Dirantai secara keseluruhan berhasil memadukan horor historis yang kuat dengan pesan moral yang tajam. Film ini tidak hanya menjadi tontonan seram, tapi juga cermin reflektif yang mengaduk nurani.
Bagi penyuka film horor, terutama buatan dalam negeri, film Menjelang Magrib 2: Wanita yang Dirantai sangat pas untuk mengisi waktu luang. Film ini sudah tayang dan bisa disaksikan di bioskop kesayangan mulai tanggal 4 September.