Review Film Rangga & Cinta: Nostalgia, Musikal, dan Isu Relevan Masa Kini
Tim Teaterdotco - Minggu, 5 Oktober 2025 09:48 WIB
Dua puluh tiga tahun setelah Ada Apa dengan Cinta? (AADC) mengukir sejarah perfilman Indonesia, Miles Films kembali membuka bab baru dengan menghadirkan Rangga & Cinta. Disutradarai Riri Riza dan diproduseri Mira Lesmana, film ini mencoba menghidupkan kembali kisah cinta remaja legendaris itu dengan wajah-wajah baru. El Putra Sarira didapuk memerankan Rangga, sementara Leya Princy menjadi Cinta, didampingi Jasmine Nadya, Daniella Tumiwa, Kyandra Sembel, dan Katyana Mawira yang mengisi geng Cinta.
Meski alur ceritanya setia mengikuti AADC versi 2002, film ini membawa satu kejutan besar: format musikal. Sejak adegan pembuka, penonton disambut koreografi penuh warna dengan iringan lagu ikonik “Ku Bahagia” karya Melly Goeslaw. Pilihan menjadikan musik sebagai bagian narasi, bukan sekadar latar, menjadikan film ini tampil berbeda dari kebanyakan drama remaja Indonesia. Di beberapa momen, musikal justru memperkuat emosi, seperti ketika geng Cinta menyemangati Alya lewat nyanyian atau saat Cinta larut dalam kerinduan kepada Rangga. Namun, tak semua berhasil mulus. Ada adegan yang terasa canggung, ekspresi pemain yang kurang natural, hingga musik yang terdengar terlalu dominan dan mengganggu alur cerita.
Di balik itu semua, chemistry antara El Putra Sarira dan Leya Princy menjadi daya tarik utama. El menampilkan Rangga yang pendiam namun lebih membumi, berbeda dengan sosok misterius Nicholas Saputra dua dekade lalu. Leya menghadirkan Cinta dengan sisi manis dan polos khas remaja, meski ekspresinya kadang berlebihan. Interaksi mereka memunculkan romansa yang terasa alami, penuh rasa kikuk dan malu-malu, mengingatkan penonton pada pengalaman cinta pertama di masa sekolah. Chemistry inilah yang membuat cerita lama terasa hidup kembali dengan energi baru.
Yang juga patut dicatat, Riri Riza dan tim produksi berusaha menghadirkan isu relevan masa kini ke dalam cerita. Tokoh Alya misalnya, masih digambarkan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga, namun adegan percobaan bunuh diri yang dulu begitu ikonis kini diubah agar tidak menimbulkan trauma pada penonton. Keputusan itu memperlihatkan pendewasaan sineas sekaligus kesadaran bahwa isu kesehatan mental harus ditangani dengan sensitif. Film ini juga menyentuh persoalan kebebasan berekspresi melalui tokoh ayah Rangga, yang dianggap musuh pemerintah karena tulisannya. Narasi ini terasa lekat dengan situasi hari ini, ketika karya ilmiah atau buku masih bisa dianggap ancaman bagi kekuasaan.
Meski berani keluar dari zona aman, Rangga & Cinta tetap memunculkan pro dan kontra. Perubahan adegan ikonis di bandara, misalnya, menimbulkan rasa kehilangan bagi sebagian penonton. Di sisi lain, wajah-wajah baru yang segar, ditambah lagu-lagu yang digarap Melly Goeslaw dan Anto Hoed, memberi napas berbeda pada kisah lama. Film ini memang tidak flawless seperti AADC, dengan transisi cerita yang kadang meloncat dan musikal yang belum sepenuhnya padu, namun keberaniannya menjajal formula baru patut diapresiasi.
Akhirnya, Rangga & Cinta hadir bukan sekadar nostalgia. Ia menjadi refleksi, tentang cinta remaja yang universal, tentang kesehatan mental yang semakin dibicarakan, dan tentang ruang berekspresi yang selalu layak dipertahankan. Untuk generasi yang tumbuh bersama AADC, film ini adalah pintu waktu yang membawa mereka pulang. Bagi generasi baru, Rangga & Cinta adalah kisah cinta remaja penuh warna yang relevan dengan zaman.