Review Tron: Ares, Petualangan Futuristik Penuh Aksi dan Visual Spektakuler
Tim Teaterdotco - Rabu, 8 Oktober 2025 10:52 WIB
Disney akhirnya menghidupkan kembali dunia digital legendaris lewat Tron: Ares, babak baru dari franchise klasik yang dulu jadi ikon sinema futuristik. Disutradarai Joachim Rønning dan dibintangi Jared Leto serta Greta Lee, film ini mencoba menyatukan nostalgia, teknologi modern, dan isu kecerdasan buatan yang sedang panas dibicarakan. Sayangnya, di balik visual yang memukau, Tron: Ares terasa lebih seperti pameran teknologi ketimbang perjalanan emosional.
Cerita berpusat pada Ares (Jared Leto), sebuah program keamanan digital yang dikirim keluar dari “Grid” — dunia maya khas Tron — untuk menemukan “permanence code”, kunci yang bisa membuat entitas digital bertahan di dunia nyata lebih dari 29 menit.
Di dunia manusia, Ares bertemu Eve Kim (Greta Lee), CEO Encom yang idealis dan ingin memanfaatkan teknologi itu demi kemanusiaan: menciptakan pangan, rumah, dan solusi bagi dunia nyata.
Namun, niat baiknya terancam oleh Julian Dillinger (Evan Peters), pengusaha saingan yang melihat kode tersebut sebagai alat kekuasaan. Konflik antara moralitas mesin dan keserakahan manusia menjadi benang merah film ini — setidaknya di atas kertas. Karena di layar, gagasan itu hanya tersentuh di permukaan.
Visual Futuristik yang Tak Pernah Gagal
Satu hal yang tidak bisa disangkal: film ini indah luar biasa. Dunia digitalnya masih memanjakan mata lewat permainan warna neon merah-biru, kendaraan Light Skimmers yang melesat halus, dan efek CGI yang nyaris sempurna.
Bagi yang menonton versi 3D, pengalaman ini bahkan lebih imersif — seolah kita ikut tersedot ke dalam “Grid”.
Masalahnya, keindahan itu tidak diimbangi dengan cerita yang punya denyut. Tron selalu dikenal sebagai film yang berpikir besar, tapi Ares tampak lebih sibuk mengejar aksi spektakuler ketimbang menggali pertanyaan tentang AI, kesadaran, dan kemanusiaan. Jared Leto tampil keren tapi terlalu dingin; karakter Ares kehilangan sisi manusiawi yang seharusnya jadi jembatan antara dua dunia.
Untung masih ada Greta Lee. Sebagai Eve Kim, ia memancarkan karisma dan ketegasan yang menahan film ini dari tenggelam sepenuhnya. Ada kehangatan dan kepedulian dalam setiap gestur dan tatapan matanya.
Sayangnya, naskah tidak banyak memberi ruang bagi Eve untuk berkembang. Sebagian besar waktu dihadirkan sebagai penopang cerita, membantu Ares atau memperbaiki sistem, bukan sosok utama yang benar-benar memegang kendali.
Kalau ada satu elemen yang benar-benar hidup, itu adalah musik. Trent Reznor dan Atticus Ross (Nine Inch Nails) menciptakan soundtrack elektronik yang menggema dalam setiap adegan.
Dentuman ritmis mereka menghidupkan dunia digital dengan nuansa gelap dan emosional, memberi kedalaman di saat gambar gagal melakukannya.
Seperti Wendy Carlos di Tron (1982) dan Daft Punk di Tron: Legacy (2010), musik kembali menjadi jiwa sejati film ini — ironisnya, di film yang temanya justru tentang kehilangan jiwa.
Tron: Ares punya semua elemen untuk jadi kebangkitan besar: teknologi canggih, tema relevan, dan warisan kuat. Tapi hasil akhirnya terasa seperti demo visual dengan pesan moral setengah matang.
Meski begitu, bagi penggemar Tron atau penikmat film sci-fi dengan visual megah dan musik yang menghanyutkan, Tron: Ares tetap layak ditonton di layar lebar.
Film Tron: Ares tayang mulai 8 Oktober di bioskop, dan mungkin, meski ceritanya tak sepenuhnya hidup, pengalaman visual dan musikalnya tetap pantas kamu rasakan langsung di ruang gelap bioskop — tempat dunia digital itu terasa paling nyata.