Review Film The Smashing Machine: The Rock Sukses Tampilkan Kerapuhan Seorang Legenda MMA
Tim Teaterdotco - Selasa, 14 Oktober 2025 07:39 WIB
The Smashing Machine bukan sekadar film tentang pertarungan di ring. Ini adalah film yang menguak sisi rapuh dari sosok kuat yang selama ini dikenal sebagai pahlawan tak terkalahkan. Dwayne "The Rock" Johnson, aktor berpendapatan tertinggi Hollywood, tampil dalam performa paling berani sepanjang kariernya lewat peran sebagai Mark Kerr, legenda MMA yang bergulat bukan hanya dengan lawan di arena, tapi juga dengan iblis dalam dirinya sendiri.
Disutradarai Benny Safdie, film ini diadaptasi dari dokumenter tahun 2002 berjudul The Smashing Machine: The Life and Times of Extreme Fighter Mark Kerr. Benny Safdie tetap setia pada akar dokumenternya dengan pendekatan sinematik yang mentah dan realistis, bahkan sering kali membuat penonton merasa sedang menyaksikan kehidupan nyata yang direkam kamera handheld.
Mark Kerr adalah sosok yang tak terbiasa kalah. Ia juara UFC dua kali yang kemudian menaklukkan ajang Pride Fighting Championships di Jepang. Hidupnya penuh sorotan, kekasihnya Dawn Staples (Emily Blunt) selalu ada di sisi, dan dunia menyanjungnya bak dewa. Namun di balik kemenangan demi kemenangan, Mark Kerr menyembunyikan kecanduan obat penghilang rasa sakit dan tekanan batin yang terus menumpuk.
Film ini menunjukkan paradoks seorang juara: di puncak kejayaan justru tersembunyi kehancuran. Ketika kekalahan pertama datang, hidup Mark Kerr runtuh perlahan. Ia kehilangan kendali atas emosi, hubungannya dengan Dawn berubah menjadi medan pertempuran, dan setiap kemenangan berikutnya terasa hampa. Di sinilah The Smashing Machine menemukan jantung emosionalnya: kisah tentang manusia yang belajar menerima kelemahan.
Benny Safdie dikenal lewat gaya penyutradaraan intens dan penuh tekanan seperti di Uncut Gems. Kali ini ia menghadirkan sesuatu yang lebih sunyi namun tetap menggigit. Visualnya disajikan dengan campuran format VHS, 16mm, dan 65mm oleh sinematografer Maceo Bishop, menciptakan tekstur visual seperti arsip masa lalu yang hidup. Adegan-adegan pertarungan tak diiringi dentuman musik heroik, melainkan alunan jazz lembut dari Nala Sinephro, menciptakan kontras yang memikat antara brutalitas dan introspeksi.
Namun, tak semua berjalan mulus. Beberapa bagian film terasa repetitif — terutama saat Mark Kerr bolak-balik antara Jepang dan Amerika tanpa perkembangan emosional signifikan. Bagi sebagian penonton, gaya dokumenter Benny Safdie yang dingin bisa terasa terlalu jauh dari formula drama olahraga pada umumnya.
Transformasi Dwayne Johnson patut diacungi jempol. Dengan prostetik dan penampilan jauh dari citra heroik biasanya, ia menghadirkan Mark Kerr sebagai manusia yang keras di luar tapi rapuh di dalam. Lewat tatapan mata dan gestur kecil, Johnson memperlihatkan ketakutan, kesepian, dan rasa gagal yang menghantui seorang petarung yang tak terbiasa kalah.
Emily Blunt juga tampil kuat sebagai Dawn Staples. Ia tidak sekadar menjadi pelengkap, melainkan cermin bagi kerapuhan Mark Kerr. Momen-momen emosionalnya, terutama saat berusaha menahan tangis di depan kamera, menjadi salah satu adegan paling membekas di film ini.
Ryan Bader sebagai Mark Coleman dan Oleksandr Usyk sebagai Igor Vovchanchyn menambah keaslian film dengan latar belakang MMA mereka yang nyata. Hubungan persahabatan dan rivalitas antara Mark Kerr dan Mark Coleman bahkan terasa lebih menarik daripada kisah romansanya dengan Dawn.
Kekuatan utama film ini ada pada keberanian Dwayne Johnson melawan ekspektasi publik. Ia membuktikan dirinya bukan hanya bintang aksi, tapi juga aktor sejati yang mampu membawa beban emosi berat. Secara teknis, tata rias dan sinematografi tampil memukau, menghadirkan realisme yang kasar dan jujur.
Namun, kelemahannya terletak pada struktur cerita yang kurang menggigit di paruh kedua. Klimaksnya terasa mendadak dan kurang memberikan resolusi yang memuaskan. Meskipun demikian, pendekatan eksperimental Benny Safdie memberikan pengalaman sinematik yang langka di Hollywood.
The Smashing Machine bukan film untuk semua orang. Ini bukan tontonan aksi penuh ledakan seperti Fast & Furious atau Jumanji. Sebaliknya, film ini adalah potret kelam seorang legenda yang mencari jati diri di tengah kehancuran.
Dengan gaya dokumenter, akting luar biasa dari Johnson dan Blunt, serta penyutradaraan berani dari Benny Safdie, film ini menandai babak baru dalam karier The Rock — babak di mana ia akhirnya berhenti menjadi pahlawan super, dan mulai menjadi manusia.