Review Patah Hati yang Kupilih, Drama Cinta Beda Agama yang Menyentuh Isu Keluarga

Tim Teaterdotco - 2 jam yang lalu
Review Patah Hati yang Kupilih, Drama Cinta Beda Agama yang Menyentuh Isu Keluarga

Film Patah Hati yang Kupilih hadir sebagai drama romantis yang mencoba berbicara jujur tentang hubungan beda agama, tanpa terjebak pada sensasi berlebihan. Diproduksi Sinemaku Pictures dan disutradarai Danial Rifki, film ini memotret persoalan cinta, pilihan hidup, serta dampaknya bagi keluarga, terutama anak. Alih-alih sekadar menjual romansa, film ini justru terasa lebih kuat ketika menyoroti sisi kemanusiaan para karakternya.

Cerita Lama yang Belum Selesai

Kisah berpusat pada Alya (Prilly Latuconsina), seorang ibu tunggal yang membesarkan putrinya, Freya (Humaira Jahra). Kehidupan Alya yang relatif stabil kembali terusik saat Ben (Bryan Domani), mantan kekasihnya, muncul setelah tujuh tahun menghilang. Ben bukan sekadar masa lalu Alya, melainkan ayah dari Freya—fakta yang selama bertahun-tahun tertutup oleh kebohongan demi kebohongan.

Di saat yang sama, Alya telah memiliki Fadil (Indian Akbar), sosok pria yang menawarkan masa depan lebih aman dan tenang. Alya pun terjebak di persimpangan: menghadapi masa lalu yang penuh luka dan perbedaan keyakinan, atau memilih masa depan yang lebih pasti namun tidak sepenuhnya bebas dari rasa bersalah.

Prilly Latuconsina tampil meyakinkan sebagai Alya, perempuan yang terlihat kuat di luar, namun rapuh di dalam. Bryan Domani juga berhasil menghadirkan Ben sebagai karakter yang tidak sepenuhnya antagonis, melainkan manusia dengan penyesalan dan kebingungan. Chemistry keduanya memang terasa naik turun, tetapi cukup untuk menyampaikan konflik batin yang ingin ditonjolkan film ini.

Sorotan justru datang dari Humaira Jahra sebagai Freya. Dengan akting yang natural, Freya menjadi pusat emosi cerita. Perspektif anak yang hanya ingin melihat orang tuanya utuh dan bahagia terasa menohok, sekaligus menjadi pengingat bahwa konflik orang dewasa sering kali meninggalkan dampak panjang bagi anak.

Tak kalah penting, Marissa Anita sebagai Rahma, ibu Alya, tampil kuat sebagai figur orang tua religius yang tegas namun tetap manusiawi. Karakternya tidak sekadar menjadi “penghalang cinta”, melainkan representasi nilai dan ketakutan orang tua terhadap masa depan anaknya.

Drama yang Menguras Emosi, Namun Aman

Secara penceritaan, Patah Hati yang Kupilih dipenuhi konflik emosional yang intens. Bagi sebagian penonton, alurnya bisa terasa melelahkan karena emosi yang terus dipacu. Tema perbedaan agama sendiri masih dibahas di permukaan, lebih sebagai latar konflik ketimbang ruang diskusi yang lebih dalam soal keyakinan.

Namun, film ini patut diapresiasi karena tidak mengobral isu agama secara murahan. Pendekatan Danial Rifki cenderung menahan diri dari melodrama berlebihan, memberi ruang bagi karakter—terutama Ben—untuk merenungkan posisinya sebagai pemeluk agama minoritas, sesuatu yang jarang mendapat porsi adil di film Indonesia.

Visual Sederhana, Cerita yang Membumi

Dari sisi teknis, sinematografi tampil sederhana namun rapi. Pengambilan gambar dan tata warna terasa hangat dan membumi, mendukung nuansa slice of life yang ingin disampaikan. Tidak ada visual yang berusaha “pamer”, justru kesederhanaan inilah yang membuat ceritanya terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Patah Hati yang Kupilih bukan film yang sempurna, namun punya hati. Ia mungkin belum berani melangkah terlalu jauh dalam membedah isu cinta beda agama, tetapi berhasil menyentuh lewat cerita tentang keluarga, pilihan hidup, dan kepolosan anak. Bagi penonton yang menyukai drama emosional dengan tema yang dekat dengan realitas sosial, film ini layak menjadi bahan refleksi.